Kamis, 22 Agustus 2013

Tentang Ayah

Ayah…

Tulisan atau kisah ini saya dedikasikan untuk kedua saudara kandung saya yang seayah dan seibu.

Pagi tadi sekitar pukul 06.30 WIB ayah datang ke kosan. Beliau tergopoh-gopoh karena lelah habis menempuh jarak panjang menggunakan kapal. Setelah mandi ayah bergegas merebahkan diri di kasur depan. Aku menawari ayah minum teh dan dia mengangguk setuju.

Setelah kusuguhkan teh di meja samping kasur ternyata ayah tengah tertidur. Padahal tehnya hangat pas jika diseruput dengan cermat. Namun sepertinya lelah lebih menggugah jiwa ayah untuk melabuhkan raga di kasur tercinta.

Kutinggalkan ayah dengan aktivitas seperti biasa yang kulakukan selama di kosan. Ayah Bangun setelah azan zuhur berkumandang. Tahukah kalian apa yang ayah ucapkan? Tangan kanannya sakit. Katanya terkilir. Waktu kulihat memang benar adanya. Tangannya bengkak sepertinya memang ada urat yang beranjak.

Tangannya bergegas kupijat lembut. Meski tak ahli tapi katanya pijatanku lumayan mumpuni. Tapi tetap saja kata ayah “Sakit”. Aku tertawa saja melihat ayah meringis kesakitan. Aku bilang padanya itu tanda jika Tuhan ingin lihat tangan ayah istirahat dan tidak sibuk telepon atau smsan. Maklum… dua ponsel tak pernah lepas dari genggaman.

Aku bilang lagi ke ayah kalau sakit itu bisa mengugurkan dosa. Ayah meringis tersenyum sambil menganggukan kepala. Aku menatap layar ponselku. Kulihat kakakku sedang online. Kubilang pada ayah kalau kakak online. Ayah bilang disapa aja. Tenyata kakak balas dan bilang kalau dia sedang bekerja. Yaiyalah jelas-jelas nyapanya sekitar jam 14.00 waktu Hongkong pastinya sedang bekerja.

Setelah makan siang dan salat zuhur ayah minta padaku agar tangannya diolesi balesem. Sambil memijatnya perlahan aku mengajak ayah mengobrol banyak hal. Obrolan kami ngalor ngidul tanpa aturan. Dari mulai kerjaan menulisku sampai rencana-rencana ke depanku. Secara gantian ayah pun berlaku demikian. Membicarakan usaha yang tengah dilakukannya hingga menghabiskan banyak waktu dan tenaga bahkan sampai rela meninggalkan keluarga dalam waktu yang cukup lama.


Obrolan akhirnya tersudut pada situasi lebaran kemarin. Aku menanyakan tentang keluarga ayah dari mulai kakak sampai adik kandungnya. Dari sembilan bersaudara tinggal enam yang masih bernyawa termasuk ayah salah satunya. Dari kesemuanya hanya tiga yang tidak aku temui di lebaran kemarin.


Pertanyaanku akhirnya berlabuh pada kabar  adik kandung ayah yang sudah lebih dari tujuh tahun tak aku temui. Waktu aku tanya kabar paklekku itu muka ayah berubah masam. Kutanya kenapa?  ayah bilang “gitu-gitu aja”. Tak begitu paham aku mencari tahun kapan ayah bertemu dengan dia. Ayah bilang sudah lebih dari tiga tahun tak bertatap muka dengannya.

Aku mengusulkan pada ayah untuk menghubunginya lebih dulu. Namun ayah menggeleng bilang tidak mau. Kata ayah harusnya dia yang menghubungi ayah karena posisi ayah adalah kakak kandungnya. Aku memberikan pendapatku terkait hal itu. Aku bilang pada ayah bahwa mungkin saja ia rindu dengan ayah dan ingin ayahlah yang menghubunginya duluan. Namun sepertinya ayah tetap kekeuh bahwa yang mudalah yang harus mendatangi/menghubungi yang tua. Padahal menurutku tidak harus seperti itu.

Aku tahu ada hal lain yang disembunyikan ayah. Kutanya lebih dalam akhirnya aku dapat sebuah alasan. Ada sikap tidak enak dan tidak pantas yang diterima ayah dari keluarga paklek (Bukan pakleknya ya). Sikap itu juga dirasakan oleh beberapa kakak ayah lainnya. Jadi intinya ada kesan kalau keluarga ayah seolah “calon parasit”. Ih amit-amit dah kalau sampai berpikiran seperti itu. Nauzubilah. Soalnya ada beberapa kejadian yang pernah dirasa hingga memunculkan hal semacam itu.

Ayah bilang agak malas menghubungi atau bahkan menemui adik bungsunya itu. Malas karena agak risih jika dianggap nantinya sebagai “calon parasit”. Kata ayah… “aku tuh inginnya dia bilang ke ayah kalau rindu sama ayah. Sekadar ingin ketemu. “ Aku tahu sekali ayah sangat sayang pada adiknya ini. Namun memang keluarga mempunyai pengaruh besar terhadap keberlangsungan suatu hubungan. Lagian juga ayah tidak akan pernah selamanya masuk dalam kategori “calon parasit” dia itu kangen adiknya. Sama sekali nggak silau sama harta adiknya. Berani sumpah deh aku. Lha wong dia ayah kita pasti kita lebih tahu dia seperti apa.

Sayang namun sayang… sepertinya keluarga adiknya tidak punya rasa PEKA atau sekadar SADAR bahwa  bagaimana pun juga keluarga tetaplah keluarga. Adik tetaplah adik dan pun halnya kakak tetaplah kakak. Saling menyayangi dan menghormati.

Suatu saat nanti jika kita semua tengah berkeluarga semoga kita benar-benar merasa dan memang harus menjadi bagian dari keluarga itu sendiri. Jika ada yang jatuh  kita harus  saling topang dan membantu. Bukan saling curiga atau mencederai hati saudara sendiri. Ingat saja bahwa kita berasal dari rahim dan mengaliri darah yang sama. Dan aku senantiasa berdoa bahwa pasangan kita nanti memberi pengaruh yang baik bukan malah sebaliknya! Aamiin

Dan satu lagi… jangan hanya mengandalkan bahwa yang tua selalu harus dikunjungi atau dihubungi yang muda ya. Kadang yang muda juga ingin dikunjungi atau dihubungi oleh yang tua. Biar adil. Sama persis seperti yang masih kita lakukan sampai saat ini. Jangan sampai berubah. Okeh!

Kisah berlanjut…

Setelah cerita banyak hal ayah merebahkan diri di kasur lagi. Ayah tidak tidur kok hanya tidur-tiduran sambil meringis menahan sakit. Iseng… aku membacakan sebuah buku kesehatan buat ayah. Tumben loh ayah mendengar dengan baik dan menanyakan secara rinci terkait informasi kesehatan yang kuberi. Dari mulai cara mengunyah makanan yang baik sampai menjelaskan berbagai jenis makanan yang baik dikonsumsi terutama makanan pokok atau beras. Ternyata beras yang baik itu dimakan dengan sekamnya. Itu loh bungus cokelat yang membungkus beras putih. Kalau zaman dahulu sih kata ayah padi itu ditumbuk dan dimakan dengan sekamnya atau istilahnya bekatul.

Pengetahuan baru bagiku dan juga diskusi ringan bagi ayah. Aku masih dalam posisi duduk bersandar pada kasur yang ayah tiduri. Aku memberikan informasi terkait pembunuhan masal di Suriah. Ayah ternyata baru tahu karena memang beritanya tidak tersebar luas di televise. Aku ceritakan pada ayah bahwa pembunuhan masal yang terjadi di Suriah menggunakan bom kimia. Korbanya sekitar 1300 jiwa dan kebanyakan anak-anak. Ayah menebak apakah itu dilakukan syiah di sana? Aku mengangguk karena memang setahuku begitu.

Setelah itu sore menjelang. Tak lama adikku datang. Tadinya ayah mau ke warnet cari bahan untuk tulisannya. Namun urung dilakukan karena di kosan kan ada internet milikku. Ayah mencari bahan hanya sebentar karena tidak begitu kuat menahan rasa sakit pada tangan kanannya. Padahal tadi sudah kupijat dan kuoles lagi dengan balsam. Sepertinya tak juga mempan. Tak berapa lama tukang pecel lewat . Secara serempak ayah dan adik bilang mau makan. Belilah mereka sepiring pecel lalu dibagi dua. Aku tidak ikutan karena masih terlalu kenyang.

Hei tahukah kalian bahwa ayah tak bisa menggunakan tangan kanannya untuk makan. Jadilah aku sore tadi menyuapi ayah meski sebentar.Rasanya giman gitu. Biasanya aku dan kalian yang disuapi pepaya oleh ayah. Namun kali ini gantian aku yang menyuapinya. Ah sudahlah tak bisa diungkapkan oleh kata-kata.

Setelahnya aku membantu ayah mengenakan kemeja karena ayah mau salat. Agak kasihan melihatnya dan akhirnya aku mengusulkan ayah untuk pakai tukang pijat. Tak tahunya tukang pijat dekat kosan masih belum balik dari mudik. Nasib… jadi kasihan sama ayah.

Tadi setelah selesai salat magrib aku mengaji. Dan seperti biasa aku melakukan ritual ngajiku yang memang jitu memberikan inspirasi buatku. Aku membuka Al-Quran secara acak. Kudapati surat Al-Isra hingga pada ayat 23-24.

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada Ibu-bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya berusia lanjut dalam pemeliharaanmu maka sekali-kali jangan engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”  dan jangan engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu aku kecil.”

Bukankah dalam hidup ini tidak ada yang kebetulan?

Aku menelepon mama setelah itu. Menanyakan mama sedang apa. Ternyata mama mau ke bekasi selama dua hari. Aku diminta ke rumah mama. Namun aku jelaskan pada mama bahwa ayah lagi di kosan. Lagi sakit. Mama paham dan akhirnya membiarkan aku. Lagi pula beberapa hari ke depan aku ada acara dan kegiatan. Cie

Setelah salat Ayah  meminta padaku untuk memijat tangannya. Aku jadi teringat dulu saat kita bertiga berebut naik ke punggung ayah untuk diinjak-injak. Hehehehe.

Karena masih lapar akhirnya ayah dan adik berinisiatif untuk membeli martabak telur. Adiklah yang berangkat. Kami pun makan bertiga. Beli terlalu banyak jadi ada beberapa sisa. Lalu apa yang dilakukan dengan sisanya? Seperti biasa ayah memanggil kucing-kucing di sekitar kosan. Kata ayah bagi-bagi rezeki sambil memberi makan kucing dengan tangan kiri. Aku tertawa saja.

Baru saja aku dipanggil ayah untuk merebus air. Tangannya mau direndem pakai air hangat dengan campuran garam. Aneh memang tapi kata ayah lagi agak mendingan.

Kisahnya sampai sini saja ya. Ini sudah hampir lima lembar. Kapan-kapan aku ceritakan lagi kisah tentang ayah. :D

Semoga ayah lekas sehat karena kasihan jika ia lanjutkan petualangan dalam keadaan demkian. Aamiin


 
Ayah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar