Senin, 05 Agustus 2013

Menyatakan itu... (IV): Kisah Lana

Lana… (sebelum baca kisah ini silakan baca (klik) Menyatakan itu Menyatakan itu 2 dan Menyatakan itu 3 ) ^^v

Kini aku menatapanya lebih lama. Ia nampak pucat meski riasan make up sederhana terlihat di wajahnya yang merona. Sore ini tujuan utama Lana akan segera terlaksana. Menemui pemuda yang disukainya hampir lebih enam bulan lamanya. Disukai atau lebih tepat dijatuhi hati meski tanpa pernah bertatap muka hanya melalui dunia maya saja.

Kalau ingin kukatakan dan utarakan… sahabatku yang satu ini memang gila. Dia teramat kukuh dengan pendapat yang dipertahankannya. Pernyataan rasa suka terhadap sang pemuda yang pernah dilakukannya di kafe beberapa bulan lalu tak juga membuatnya sadar atau kapok untuk terus menerus berucap bahwa ada hati untuk lelaki itu. Aku sendiri merasa tertantang untuk mengikuti kisah Lana. Sahabat terbaikku yang penuh ekspresi cinta.

Mengapa kukatakan demikian? Entahlah… aku merasa cinta Lana sudah teramat dalam. Terendam di dasar lautan Antartika. Malah mungkin lebih. Dalamnya lautan bisa diukur namun dalamnya hati manusia siapa yang tahu? Hanya Tuhan… Ya hanya Tuhan yang tahu.
Kalau buka karena rasa sayang yang teramat besar terhadap sahabatku ini tak mungkin detik ini aku masih setia mendampinginya di Solo. Tiga hari sudah kami bermukim di sini. Bagiku ini waktu yang cukup lama dalam wilayah berpetualang karena berdiam di satu tempat lebih dari dua malam. Harusnya kemarin Lana melaksanakan tujuannya. Namun dia bilang keberaniannya belum cukup penuh untuk bertatap langsung dengannya.

“Lan… kamu beneran sekarang udah siap?” Aku bertanya sembari menatapnya yang serius menelusuri setiap inci layar ponselnya. Ia sedang mencari sebuah alamat. Alamat siapa lagi kalau bukan pemuda itu. Tapi yang dicari Lana bukan alamat tinggal sang pemuda. Lebih tepatnya alamat pemuda itu bekerja. Setahuku… lelaki yang disukai Lana memiliki sebuah kafe kecil di tengah kesederhanaan kota Solo.

“InshaAllah sudah. Ini aku lagi googling tempatnya pakai google map. Tapi kayanya daerah sini belum terdata deh” Ujarnya kembali serius menatap layar lalu celingak-celinguk menatap jalan. Aku bertanya nama kafenya namun Lana hanya terdiam tak mempedulikan tanyaku. Sangking seriusnya ia sampai tidak sadar bahwa semenjak tadi aku lelah berdiri di tengah jalan seperti ini. Aku mengambil ponsel dari genggamannya.

“Kembaliin deh” Ujar Lana meminta ponselnya kembali.

“Makanya… kalau ditanya itu dijawab atuh” Jelasku lalu berjalan meninggalkanya.

“Hei…iya-iya sorry… habis aku bingung sendiri. Kok jalan di sini sama di peta bisa beda ya?” Lana mengeluhkan sambil menyusul iringan jalanku.

Aku membaca nama kafe yang tertera di ponsel Lana. Daerahnya memang berada di sekitar kaki kami berpijak. Tak kehabisan akal bergegas aku bertanya kepada warga sekitar yang lewat. Ternyata letak kafe yang dimaksud hanya berjarak 100 meter dari tempat kami berdiri. Lana terlihat senang dan mengeggam erat lenganku.

“Makasih ya cantik” Ujar Lana tersenyum. Aku pun mengangguk.

Kami berjalan sengaja dipercepat agar lekas sampai. Namun ketika nama kafe itu hanya berjarak tiga meter di depan kami Lana mulai memperlambat langkahnya.

“Kenapa? Mau mundur? Kesempatan itu masih terbuka lebar kok” Ujarku memberi kesempatan. Lana menggeleng dan tersenyum.

“Aku udah cantik belom?” Tanya Lana polos dan aku hanya bisa menggeleng.

“Belom cantik?” Pertanyaan Lana membuat aku bergidik. Sejak kapan dia menjadi begitu perhatian terhadap penampilan dan wajahnya. Mungkin karena ingin bertemu dengan pemuda yang dicintainya. Jadi ia ingin terlihat sempurna.

“Kamu tuh cantik Lana… tapi sayang kamu nekat. Jadi cantiknya agak serem” Jawabku asal dan setengah tertawa. Lana mencubit lenganku. Tak terima jika aku meledeknya di situasi yang mungkin baginya begitu menegangkan.

Aku bergegas menarik Lana masuk ke dalam kafe itu. Setelah mengambil posisi duduk paling dekat dengan meja kasir aku menatap sekeliling. Tempat ini cukup sederhana. Beberapa orang sedang asik bercengkrama menikmati minuman dan snack makanan. Seorang pramusaji mengenakan celemek merah menghampiri kami.

“Es teh manis satu. Cokelat panas satu ya” Ujarku langsung tanpa mempertanyakan apa yang Lana pesan. Aku sudah terbiasa memesan ini. Antara aku dan Lana kami selalu barter. Jika aku sedang mood dengan es teh manis… Lana akan memilih cokelat panas sementara jika aku sedang mood dengan cokelat panas… Lana yang akan meminum es teh manis.

Lana terlihat mencari seseorang. Semenjak tadi matanya celingak celinguk. Aku mendiamkan saja. Biarlah dia berdamai dengan dirinya sendiri. Seperti katanya aku tak harus berbuat apa-apa. Cukup menemani dia senantiasa. Tak berapa lama pesanan kami datang. Sebelum pelayanan pergi aku menanyakan satu hal yang membuat Lana terdiam seribu bahasa.

“Mas… ownernya mana?” Sang pelayan terlihat bingung dengan pertanyanku. Bergegas aku mengartikannya ke bahasa Indonesia. Aku lupa bahwa tak semua orang paham dengan bahasa Inggris. Padahal aku juga tak pandai-pandai amat. “maksud saya… pemilik kafe ini lagi ke mana?” Tanyaku lagi dan pelayan tersebut menunjuk ke arah seorang pemuda yang sedang duduk termenung di pojok sebelah kanan tepat sejajar dengan meja kami. Pemuda yang ditunjuk sang pelayan menoleh.

Aku terdiam seribu bahasa menatap orang yang ditunjuk sang pelayan. Wajahnya putih bersih bersinar. Rambutnya sedikit ikal dengan potongan rapih. Kemeja putih yang dikenakannya  digulung sesiku memperlihatkan bahwa kulitnya memang benar-benar putih. Seperti ada keturunan china. Dia tersenyum ke arahku. Secara spontan aku menyenggol kaki Lana.

“Iya… dia orangnya” Lana setengah berbisik berkata-kata. Entahlah saat itu aku merasa berada di antara dua kutub. Seperti lapisan magma yang mengahangatkan ke duanya. Di satu sisi Lana terdiam sambil menatap pemuda itu pun sebaliknya dengan pemuda yang kini matanya tak beralih dari tatapan Lana.

Mengurangi sedikit kekakuan yang hanya berjarak sekitar dua meter saja bergegas aku menyeruput minuman yang ada di depanku. Sial… panas. Aku sudah kehabisan daya ingat bahwa yang kuseruput begitu cepat adalah cokelat panas bukan es teh.

Lana masih menatap pemuda itu dan sepertinya mereka terus saling bertatap. Tiada kata-kata sedikitpun yang keluar. Mereka berbicara dalam tatapan bisu. Sementara aku hanya memandangi mereka berdua secara bergantian. Ini sudah terlalu lama hampir setengah jam. Aku menarik tangan Lana lalu menyuruhnya untuk menyeruput minuman yang tadi kupesan. Lana menurut. Seperti biasa ia menyeruput habis es tehnya.

“Kamu Lana?” Tanya sang pemuda membuka suara. Tatap matanya serius menjurus menatap Lana tanpa cela. Lana hanya diam. Lalu menjawab dengan sebuah anggukan. Sang pemuda menggeleng seolah tak percaya.

Sang pemuda bergegas berdiri lalu melangkah ke arah meja kami. Aku deg-degan sendiri. Tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Kini sang pemuda pujaan Lana tepat duduk di samping Lana dan di sampingku. Ia berada di antara kami. Lalu semua terdiam sunyi. Lama sekali.

“Mau sampai kapan kita di sini Lan? Udah jam Sembilan malam ini?” Ujarku akhirnya memecah sunyi ditengah kebisuan dua mahkluk yang sama sekali tak bertukar kata.

“Sampai aku capek kalau aku suka sama dia” Ucapan Lana meluncur lantang. Sang pemuda menoleh serius menatap Lana yang akhirnya berkata-kata. Sepertinya pertanyaanku salah. Aku menyeruput habis cokelat panasku yang sudah mendingin.

“Kapan kamu akan capek suka sama saya?” Pemuda itu melempar tanya.

“Kenapa kamu harus tahu? Bukannya kamu bilang tidak? Entah “tidak” apa yang kamu maksud.” Lana menjawab sedikit ketus. Dia seperti bukan Lana yang kukenal.

Sang pemuda tersenyum. Lalu menggeleng. Ada tawa yang ditahannya. Sementara Lana mendengus kesal. Tapi kaki kanannya menyenggol kaki kiriku keras. Sepertinya ia memberikan kode. Aku bergegas menatapnya. Tapi Lana tak berucap atau berbuat apa-apa. Aku seperti linglung sendiri.

“Kamu itu kocak. Tapi saya salut karena sampai juga kamu di sini.” Pemuda itu kembali berujar sementara aku seperti ketiadaan. Tidak dianggap apa-apa. Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Mencoba menghubungi seseorang yang mungkin bisa kuajak berbicara. Mengacuhkan mereka berdua yang mengacuhkan diriku.

“Yuk pulang” Ujar Lana tiba-tiba saat aku ingin membalas whatsapp temanku yang ternyata belum kubalas sejak dua jam lalu.

“Jadi udah… jauh-jauh cuma begini doang?” Tanyaku memancing Lana dan pemuda itu yang menurutku tidak peka terhadap Lana. Entahlah aku tak akan pernah bisa menduga apa yang ada di pikiran dan hatinya. Yang pasti dia hanya berujar beberapa kalimat saja setelah itu terdiam seribu bahasa.

“Terima kasih karena setidaknya kamu mau mengenal saya. Menghadirkan rasa suka pada diri saya. Mengacukah pernyataan saya. Dan membuat saya terdiam lebih banyak dari yang saya kira. Kamu hebat. Satu hal dari pertanyan kamu akan saya jawab. Sebentar.” Ujar Lana tiba-tiba lalu seketika ia menutup kedua matanya. Aku seolah bukan melihat Lana sahabatku.

“Saya akan capek suka sama kamu sampai kaki saya keluar dari tempat ini. Sampai tidak ada lagi rasa yang bisa membuat saya berdiri dan menoleh ke arah kamu. Sampai kamu tetap tidak menggubris saya. Mungkin sampai saat ini saja.” Ujar Lana berkata-kata membuat aku berdecak hebat.

Kawanku yang luar bisa begitu beraninya menyatakan rasa. Sebelum kaki melangkah aku sempat mengeluarkan selembar uang bergambar soekarno hatta. Namun sang pemuda menolaknya seolah ingin mentraktir minuman yang kupesan tadi.

Lana keluar dengan mantap. Tidak sedikit pun menoleh pada sang pemuda. Aku menatap sang pemuda meski langkahku berjalan ke depan. Sang pemuda bermuka kecewa. Entah apa yang ada dipikirannya. Tiada bisa kutebak dan kuterka. Au mengejar langkah Lana. Menarik tangannya yang berkeringat dingin. Lana menatapku hangat. Dia tersenyum penuh. Ada kelegaan di matanya.

“Aku udah lega. Maksih ya Cantik.” Ujar Lana lalu merangkulku erat. Kami berjalan beriringan meski segudang tanya dan kata-kata dalam otak dan mulutku tertahan. Setidaknya aku melihat Lana tersenyum cukup membuatku tenang. Perasaannya sudah tersampaikan. Tak peduli apa ekspresi sang pujaan.

“Kamu hebat Lan. Meski tetap pada taraf gila” Ujarku asal setelah melewati serangkaian perjalanan cinta Lana pada pemuda yang kurasa senang tersenyum dan berkata jujur.

“Segila-gilanya aku nggak akan sampai segila kamu. Mau-maunya nemenin orang gila kaya aku nemuin orang yang disuka terus jadi pendengar begitu aja” Lana menyindirku yang memang nyatanya begitu. Aku tersenyum setengah dipaksakan.

“Temannya orang gila ya memang harus lebih gila lagi Lan” Jawabku sekenanya. Lana tertawa. Solo sunyi ikut tertawa mendengar kegilaan yang baru saja terjadi.
Lagu Kahitna terdengar nyaring…” Bilakah dia tahu… apa yang tlah terjadi. Semenjak hari itu hati ini milikinya…” Langkah Lana terhenti. Begitupun denganku. Suara ponsel milik Lana berdering

“Ini dari Dia…” Ujar Lana memastikan meski ponselnya masih berada dalam tas genggaman. Aku yakin Lana tak berbohong karena suara ponsel Lana biasanya bernada lagu “Cantik” Mungkin untuk nomor sang pemuda ringtonenya dibedakan. Lana menatapku seolah minta pertimbangan apakah boleh untuk mengangkatnya. Aku mengangguk memberi jawaban. Lana mengangkat telponnya.


Solo sunyi kembali…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar