Selasa, 06 Agustus 2013

Menyatakan itu... Akhir Lana

“Lan… ada yang ingin aku bicarakan sama kamu” Aku menghampiri Lana ke meja kerjanya. Tadinya aku ingin membicarakan ini setelah pulang kerja. Namun aku tidak bisa menahannya. Lana teman terbaikku dan aku tidak ingin dia mendengar sebuah kabar tentangku dari orang lain. Tapi rasanya mulutku berat berkata-kata. Sejak bertemu Lana tadi pagi aku sudah menunda bicara padahal sudah sangat ingin memberitahu prihal sesuatu yang terjadi padaku. Tempatku dan Lana bekerja berada pada gedung yang sama hanya saja kami berbeda perusahaan.


“Kenapa? Kamu mau ngomong apa sih? Ini udah dari tadi malem di telepon loh… terus tadi pagi waktu di lobi. Sekarang lagi jam kerja katanya mau ngomong. Giliran ditanya mau ngomong apa eh kamu malah diem. Sebenarnya ada apa sih?” Lana melepas kacamatanya. Kini ia serius memperhatikanku. Dan mulutku kembali berulah. Kaku lagi.


“Eh.. e… anu… ehm…” Kalimat pernyataanku tak muncul juga. Sebenarnya aku sebal seperti ini. Tapi beneran rasanya berat sekali mengatakan ini semua.


“Apa? Kenapa sih? Ada apa?” Lana mulai mendekatiku. Aku menarik napas perlahan. Bismillah semoga yang kuutarakan ini lebih menenangkan hati dan pikiranku.


“Minggu depan Hidra akan datang melamar” Ucapku sambil terpejam.


Aku sebenarnya berat menyatakan ini ke Lana tapi harus. Entahlah ada sedikit rasa tak enak ketika aku mengutarakan hal ini. Di sisi lain aku ingin berbagi kebahagiaan dengan Lana prihal acara lamaranku minggu depan. Namun di sisi lain aku merasa menggilas perasaan Lana.


Baru saja sebulan yang lalu ia menyatakan perasaannya secara langsung kepada pemuda pujaannya di Solo. Meski hasil terakhirnya Lana tak bercerita apa-apa perihal telepon lelaki pujaannya tersebut. Akan tetapi semenjak Lana menutup telpon di malam yang sunyi itu aku melihat dengan mataku sendiri ada bulir-bulir air mata yang menjatuhi pipinya. Meski pada akhirnya ia tutupi dengan tawa yang sekiranya dipaksakan.


“Masha Allah… selamat dear… aku turut berbahagia” Lana spontan memelukku erat. Ada sedikit kelegaan dalam hati ketika kulihat ekspresi sahabatku mendengar kabar bahagia seperti ini.


“Pantesan dari semalam galau ternyata mau cerita ini toh. Hahahaha. Oh ternyata sahabatku lebih dahulu mendahului aku. Salut sama kamu deh. Tak perlu perjuangan panjang seperti aku meski pada akhirnya tak berbuah apapun. Eh berbuah ding. Kelegaan. Hihihihi” Ujar Lana terdengar lara meski pada akhirnya dia tersenyum juga.


“Eh… kamu tuh sahabat tergila dan terkeren yang aku punya. Serius deh! Tak akan tergantikan sampai kapanpun jua. Menjadi bagian dari perjuangan cintamu yang hebat adalah sesuatu yang berkesan dalam hidupku. Hasil bukan segalanya. Kan yang penting prosesnya. Bukannya kamu pernah bilang gitu?” Aku mencoba jujur pada sahabatku ini. Dia tersenyum menatapku sembari melipat kedua tangannya.


“Kamu… tanpa perjuangan nekad seperti aku tahu-tahu dilamar orang. Beruntungnya kamu. Pada akhirnya hasil juga penting… menurutku sekarang begitu” Ujar Lana seperti iri. Aku menarik napas sesaat.


“Hei…hei… nggak usah iri gitu deh. Tuhan itu sudah menggariskan seseorang untukmu. Yang terbaik dari yang paling baik. Cuma emang belum ditunjukin aja yang mana orangnya. Kamu kan juga tahu sendiri kalau yang berjuang selama ini keluarga aku. Perjodohan… aku menjalani saja apa yang orangtuaku suruh. Aku hanya ingin jadi anak berbakti” Jelasku jujur.

Aku memang sudah dijodohkan sejak lama oleh orangtuaku. Makanya aku tak pernah mencoba membuka hati bagi orang lain karena aku juga yakin orangtuaku pasti memilihkan yang terbaik untukku. Dan akhirnya minggu depan itu tinggal di depan mata.

“Gimana sih perasaan akan dilamar seseorang?” Lana membuka tanya. Aku terdiam mencoba mencari rasa. Namun aku sendiri bingung karena memang tidak ada rasa apa-apa.

“Aku biasa aja Lan. Aku sendiri bingung. Kok datar-datar aja ya.” Ujarku jujur.


“Tapi kamu udah tahu orangnya kan? Orangnya gimana? Kamu nggak mau ngenalin ke aku?” Lana memancingku. Aku mengangguk. Mengiyakan bahwa memang aku sudah lama kenal dengan orangnya.


“Lana… pokoknya minggu depan kamu dateng aja deh. Nanti kamu nilai sendiri dia orangnya gimana.” Aku menjawab Lana dengan sederhana. Tapi sepertinya Lana tidak puas dengan jawabanku.


“Aku cerita apa saja ke kamu. Giliran aku tanya kamu tentang orang yang akan melamar kamu eh kamu malah bilang gitu. Curang!” Lana merajuk seperti anak kecil. Aku menggeleng menatapnya. Duh seandainya saja Lana tahu bahwa aku tak bisa mengekspresikan rasa seperti dirinya.


“Eh… nggak usah lebai deh! Nanti kamu juga tahu sendiri. Aku aja bingung ngejelasin ke kamu orangnya gimana-gimana.” Aku mencoba memberi penjelasan sederhana pada Lana. Tapi sahabatku itu sepertinya tak juga paham. Dia seperti kesal karena aku tak mau bercerita banyak hal tentang Hidra. Lana kembali ke meja kerjanya. Mengenakan kembali kacamatanya. Menatap layar komputernya. Dan membuatku mematung di depannya.


“Namanya Hidra. Tingginya nggak jauh beda sama aku. Kulitnya bersih. Putih. Rambutnya lurus. Dia karyawan swasta.” Aku mencoba menyebutkan ciri-ciri calon suamiku yang memang tidak begitu aku kenal. Lebih tepatnya belum mengenal lebih jauh.


“Aku nggak nanya ciri-cirinya juga kali. Aku tanya orangnya gimana?” Lana menyahut tanpa meliriku. Bikin gemes dan geregetan. Aku bak tahanan yang sedang diintrogasi di hadapannya.

“Duh Lana… aku belum tahu dia banget-banget. Ketemu dia juga baru dua kali. Ngobrol juga jarang. Yang kenal dia banget-banget itu keluarga aku. Makanya kamu kalau mau tahu dia tanya aja sama orang rumah.” Aku menjawab jujur apa adanya.


“Kapan kamu ketemu dia? Kok nggak pernah cerita ke aku?” Lana bertanya lagi. Ya… kuakui memang aku sedikit menyimpan rahasia padanya. Aku memang tak pernah bercerita ke Lana bahwa aku pernah bertemu Hidra karena bagiku itu tidaklah penting.


“Udah lama… sebelum kita ke Solo” Jawabku jujur. Lana menatapku serius. Duh! Aku merasa menjadi sahabat yang tak baik.

“Oh… udah hampir sebulan yang lalu ya. Aku nggak diceritain. Ih parah banget ya. Emang sih aku bukan siapa-siapa.”Ocehan Lana melantur ke mana-mana. Dan ini yang kadang membuatku tak suka dengan sikapnya. Seperti bocah. Kekanak-kanakan!


“Udah deh. Nggak usah kaya anak kecil. Aku nggak cerita ke kamu bukan karena nggak anggep kamu siapa-siapa. Hanya saja memang pertemuanku waktu itu nggak penting.” Aku mulai terpancing.


“Yaudah… aku emang anak kecil. Terimakasih untuk pendapatnya” Lana membalas kalimatku. Aku mendengus kesal.


“Lan… kamu ini kenapa sih?”


“Aku nggak kenapa-kenapa. Kamu yang kenapa? Aku kan cuma tanya. Kamu malah ngatain aku anak kecil.”


“Yaudah. Aku salah. Aku minta maaf udah ngatain kamu anak kecil. Udahlah aku nggak mau memperpanjang omongan ini. Yang ada kita malah ribut sama sesuatu yang nggak penting. Makasih udah mau denger kabar dari aku. Aku harap minggu depan kamu mau dateng. Kalau sampai kamu nggak dateng… itu namanya kebangetan!” Aku bergidik kesal sendiri. Lalu berjalan meninggalkan ruang kerja Lana. Aku sudah terpancing emosi dengan hebatnya. Dan entahlah aku merasa menjadi sahabat yang bodoh. Benar-benar bodoh.
                                         *****


Sudah hampir tiga hari aku tak bertemu dengan Lana. Bukan karena tidak mau dan tidak ingin. Namun waktu seolah susah sekali mempertemukan kami. Sejak kejadian itu aku merasa benar-benar sendiri. Di satu sisi aku sibuk mempersiapkan acara lamaran yang tinggal menghitung hari saja. Di sisi lain kerjaanku menumpuk. Aku harus mengambil cuti mulai besok karena tak mungkin membiarkan ibu mengurus acaraku sendirian. Oleh sebab itu selama tiga hari ini aku lebur kerja.


Biasanya ada Lana yang senantiasa menemaniku di kala aku lembur dengan banyolan-banyolan pesan singkatnya di Whatsapp atau telponnya yang bercerita apapun. Namun tiga hari ini serasa sepi. Kulihat sudah hampir tiga hari whatsappnya tidak aktif. Ia seperti menghilang ditelan rasa kesal dan amarah kemarin.


Malam ini aku sungguh geregetan. Maka rasa gengsi telah kukesampingkan. Secara cepat aku menekan tombol call menghubungi Lana. Namun sayang ponselnya tidak aktif. Sial. Dia sedang apa? Aku jadi khawatir sendiri. Tapi aku juga tak mau menyalahkan diriku sepenuhnya. Aku serba salah. Posisiku sulit. Pikiranku terlalu banyak. Pekerjaan. Persiapan acara lamaran. Terakhir Lana!
                                  ****


Hari ini aku mulai mengambil cuti. Seharian aku di rumah membantu ibu mempersipakan seperti yang beliau inginkan. Padahal aku hanya ingin acara sederhana saja. Namun sekali lagi kuutarakan bahwa aku hanya ingin menjadi anak berbakti. Aku menurut apa yang menurut orangtuaku baik. Tapi sebenarnya ada satu hal yang ingin aku lakukan sejak kemarin. Ke kosan Lana!


Kakiku akhirnya berhasil juga melenggang dari rumah. Kini aku berada di kosan Lana. Awalnya aku ragu untuk mengetuk pintu kosannya yang sering kukuliti. Namun sekali lagi… sahabatku ini sudah terlampau parah. Tidak ada kabar apapun darinya. Dia benar-benar hilang begitu saja. Jadi… dengan sekuat tenanga akhirnya tangan ini mengetuk juga. Sekali dua kali tak ada sahutan. Begitu kuketuk yang ketiga kali… seorang tetangga kosannya datang menghampiri.


“Mbak… Lana udah dari empat hari yang lalu pulang ke kampungnya” Jelasnya memberi kabar.


“Pulang ke Malang?” Tanyaku menyebut asal Lana tinggal. Tetangganya mengangguk. Seketika kakiku lemas. Semarah itukah dia padaku? Aku menaruh rindu sekaligus dendam padanya. Ke mana dia? Di saat aku membutuhkan kehadirannya menjelang hari spesialku dia malah pergi begitu saja. Aku pulang dengan buncahan segala rasa. Kesal marah rindu bingung panik semua jadi satu. Lana… Esok hari lamaranku. Sampai kau tak hadir juga… bisa saja aku membunuhmu!
                                         ***


Acara lamaranku tiba juga. Tentang Lana sudah kukubur dalam-dalam. Sepertinya dia tak berkenan datang di hari spesial sahabatnya. Ah tidak! Aku tak layak menyebutnya lagi dengan kata sahabat! Toh ia seolah tidak peduli denganku. Acara lamaran alhmdulillah berlangsung secara khidmat. Setelah sepakat dalam menentukan tanggal pernikahan acara dilanjutkan dengan makan-makan. Hujan turun seolah memberi keberkahan keberlangsungan acara. Suasana menjadi lebih hangat.


“Mana Sahabat kamu Lana yang mau kamu kenalin?” Hidra menghampiriku dan menanyakan tentang Lana. Lana lagi… kenapa dia tak bisa lepas dari pikiranku malam ini.


“Eh… Lana ya. Dia sudah hilang ditelan derasnya hujan.” Jawabku asal. Tak ingin membahas Lana terlalu dalam.


“Loh… bukannya kamu pernah cerita ya… kalau salah satu kebahagiaan yang kamu rasa dalam hidupmu adalah menjadi sahabat terbaik Lana. Kok sekarang kamu jawabnya gitu?” Hidra dengan sabar mencari tahu. Iya… kuakui aku memang pernah berbicara begitu pada Hidra. Waktu pertemuanku dengannya sebelum berangkat ke Solo aku hanya membicarakan tentang Lana. Dan wajar saja jika sekarang Hidra bertanya ini padaku.


Pada akhirnya aku menceritakan apa yang terjadi antara aku dan Lana. Hidra mendengarkan semua ceritaku. Dia mengangguk-angguk seperti paham.

“Kamu kangen Lana… sekaligus sebal padanya?” Hidra berkomentar sementara aku mengangguk terdiam. 


“Mungkin dia sedang ada urusan yang sangat penting. Percaya saja nanti pasti dia akan menemuimu. Kan kamu sendiri yang bilang dia sahabat terbaikmu.” Hidra mencoba menenangkan. Aku mengiyakan. Mungkin ada benarnya juga yang dikatakan Hidra. Ah sudahlah… kuakui aku memang benar-benar merindukannya malam ini.

                                         *****


“Cantik…” Lana menghampiriku di meja kerja. Aku menatapnya sengit.


“Ngapain kamu ke sini? Aku nggak kenal orang kaya kamu!” Aku cuek menjawabnya. Lana merangkulku dari arah belakang. Dengan sekuat tenaga aku berusaha melepaskan rangkulannya. Lana terdorong ke arah belakang. Aku juga kaget sendiri bisa berlaku hal demikian. Namun anehnya Lana tidak marah. Dia tersenyum saja.


“Maafin aku cantik… aku nggak bermaksud nggak dateng malam tadi. Aku udah berusaha. Tapi ternyata nggak bisa juga. Sebagai permohonan maafku kamu pakai ini ya nanti di hari nikahanmu.” Lana menyerahkan sebuah kotak berwarna putih. Aku sama sekali tak berminat untuk membuka kotak tersebut. Aku hanya memperhatikan Lana yang sejak tadi mondar mandir di depanku.


“Nggak usah mondar mandir deh. Bikin pusing.” Jelasku pada akhirnya. Lana tersenyum lebar mendengarku berkomentar.

“Ayo dong dibuka. Aku nyari ini nggak gampang lho.” Lana berujar aku tetap mendiamkan.


“Aku ke sini sekalian mau pamit” Ujar Lana lagi membuat aku menoleh.


“Pamit ke mana? Bukannya kamu pergi nggak pernah pamit. Kamu ke Malang aja nggak pamit. Tumben sekarang pakai pamit segala” Aku berujar kesal ke arahnya. Lana terkekeh mendengar ujaranku barusan.


“Nggak penting aku pamit ke mana. Toh kamu juga tak akan merindukanku lagi kan? Yaudah aku nggak mau ganggu kerjamu. Ini permintaan maafnya diterima dulu. Nanti aku ke sini lagi ya…”Lana mencium pipi kanan dan kiriku. Bergegas dia melenggang pergi begitu saja.


“Lana… Lan… kamu mau ke mana….”


“Din… bangun Sayang… Istigfar Nak” mama membangunkanku yang tertidur pulas di sofa depan. 


Astagfirullah… aku bermimpi. Dan parahnya aku sampai menangis. Jam di ruang tamu menunjukan pukul 05.15. Aku kesiangan! Bergegas aku berwudu dan menunaikan subuhku. Pagi ini entah kenapa aku merasa bersemangat untuk berangkat kerja. Aku ingin bertemu Lana di kantor. Mama sebenarnya menyuruhku beristirahat. Namun aku tak menggubris inginnya. Aku berharap Lana segera pulang dari Malang dan sudah aktif masuk kerja. Aku sudah memaafkannya dan aku berniat untuk meminta maaf hari ini padanya.

Sesampainya di kantor aku berniat untuk menyambangi ruang kerja Lana. Namun aku urungkan. Nanti saja saat jam istirahat aku akan menemuinya. Aku melangkah mantap menuju ruang kerjaku.


“Mbak Dinda… ada kiriman paket dari hari Jumat. Aku taruh di atas meja” Jelas Indah Office Girl kantorku. Aku tersenyum menatapnya. Namun tercekat ketika kulihat sebuah kotak putih berada di atas meja kerjaku. Kotak putih ini seperti yang ada dalam mimpiku tadi.

Bergegas aku mendekatinya. Membukanya ikatan pita birunya. Sebuah kebaya cantik berwarna biru muda kini berada di depanku. Ini pasti dari Lana! Sebagai permintaan maafnya karena tak bisa datang di acara lamaranku. Ada sebuah amplop tebal yang tergeletak rapi di atasnya. Perlahan aku membukanya.

Cantik…
Maafin aku cantik… aku nggak bermaksud nggak dateng di acara lamaranmu. Aku udah berusaha. Tapi ternyata nggak bisa juga. Sebagai permohonan maafku kamu pakai ini ya nanti di hari nikahanmu.

Tulisan itu yang berada di paragraf pertama. Tulisan Lana semenjak kuliah tak pernah berubah. Tapi… kenapa tulisan Lana sama seperti yang diucapkannya dalam mimpi. Aku lanjutkan membacanya meski aku tahu ada yang tidak beres dengan ini semua.

Maafin aku atas kejadian di hari itu. Di saat kita bertengkar bodoh gara-gara sifat kekanak-kanakanku. Kamu Sahabat terbaik yang aku punya. Aku bukan sahabat terbaik yang kamu punya. Aku berbohong padamu jika kukatakan bahwa sebenarnya aku menceritakan tentang aku semuanya padamu.

Seharusnya aku tidak perlu marah karena kamu tidak menceritakan tentang Hidra padaku. Karena memang semua manusia punya rahasia yang hanya perlu diketahui oleh dirinya dan Tuhan saja. Betulkan? Oh iya… di surat ini aku Cuma ingin memberitahu semua hal tentang aku ke kamu. Tak akan ada yang aku tutupi lagi sedikitpun karena mungkin ini surat terakhir dariku. (Aku tak bisa menulis surat sebagus ini lagi… Cantik) hahaha


Hei Cantik…
Semenjak lulus kuliah beberapa tahun lalu aku sudah divonis terkena penyakit aneh. Penyakit yang selalu membuat wajahku pucat seperti orang kurang darah. Kamu pasti sering lihat kalau aku sedang pucat. Tak perlu ya kusebutkan penyakitnya apa. Nanti kamu jadi ilfeel dan tidak mau bersahabat lagi denganku. Intinya semenjak itu aku jadi tahu kalau umurku bisa diprediksi dan dikira-kira.

Kamu pasti nggak percaya. Aku juga awalanya gitu. Tapi toh tidak kelihatan kan bahwa sebenarnya aku sedang sakit? Aku lebih senang jika kamu katakan aku gila dibanding aku menyebutkan nama sakitku apa. Hehehe

Sebelumnya kuberitahu satu hal… karena aku tahu umurku tinggal menunggu waktu maka aku nekat melakukan hal-hal di luar nalar. Seperti menyatakan cinta dan perasaan. Aku sih pernah berharap bisa merasakan menjadi seorang istri sebelum ajalku datang menghampiri. Hihihi makanya aku rela berlaku nekat dan gila.

Cantik…
bertemu dan berteman denganmu adalah suatu bagian terindah dalam hidupku. Cieee kamu jangan merah gitu dong. Aku beneran ini! Terima kasih ya… kamu sudah menjadi sahabat setia yang teramat kucinta. Bersedia menemaniku di kafe dari malam hingga jelang dini hari. Dengerin curhatku yang kacau balau nggak jelas. Perhatian sama aku di setiap waktu. Bahkan ikut menjadi petualangan cintaku yang sebenarnya tak pernah gagal.

Hei… kenapa aku bilang aku tak pernah gagal? Hahahaha kamu ingat saat kita ke Solo? Setelah aku menyatakan rasa sama orang yang kujatuhi rasa suka. Mungkin di matamu aku terlihat gagal. Sebenarnya sang pemuda tak menolak cintaku. Kamu tahu? Pasti tidak. Itu juga menjadi rahasia yang kusimpan sendiri. Parah ya aku? Iya parah sekali.

Waktu aku mengakat ponselku yang berdering setelah kita ke luar dari kafe pemuda itu… sebenarnya dia menyatakan cintanya padaku. Namun tahukah kamu dia bilang apa? Dia bilang umurnya tak sepanjang diriku. Dia ternyata juga mengidap penyakit aneh yang tak bisa juga kusebutkan di sini. Rahasia! Tapi aku tak bisa merahsiakan darimu bahwa saat itu air mataku menetes. Ternyata aku bisa menangis juga.

Kami berdua sama-sama sakit. Dan tetap saja aku tak menceritakan itu ke kamu. Tapi aku masih setia pada cintanya. Dan aku buktikan bahwa kematianku tak akan sia-sia. Ups… aku bilang kematian ya? Iya… aku lebih dahulu meninggalkan kamu di dunia Cantik… ini bukan kehendakku. Tapi kehendak Nya… kan rencananya selalu indah. Aku sih percaya saja.

Waktu itu aku agak sedih ketika kamu sampaikan bahwa kamu akan dilamar dalam minggu-minggu ini. Aku kalang kabut mencari hadiah untukmu. Saat kita bertengkar di ruang kantorku sebenarnya mataku serius menatap komputer dan sedang mencari pakaian kebaya dalam layar. Kamu pasti tak tahu. Aku panik antara bisa datang ke lamaranmu atau tidak. Karena acara lamaranmu bertepatan dengan jadwalku kemotraphy. Hihihihi

Tapi sepertinya aku tidak bisa datang. Padahal aku sudah berusaha loh ya. Yah… kalaupun tak bisa menenmuimu dalam nyata aku akan temui kamu dalam mimpi. Tuhan punya berbagai cara untuk mempertemukan kita.

Pastinya aku mendapatkan satu pelajaran terbesar dalam hidup bahwa aku punya kamu. Maaf ya aku selalu menguasai kamu untuk terus menerus berada dan mengikuti kisahku. Tanpa kusadari aku jarang menyentuh kisahmu. Menanyaimu. Aku terlalu sibuk dengan urusanku. Tapi aku tak pernah lupa untuk terus mendoakanmu di setiap salatku. Mendoakanmu agar kamu senantiasa menadapat yang terbaik.

Kamu ingat saat terakhir kamu ke kosan aku? Yang aku buka pintu lama sekali. Padahal kamu nahan pipis? Maafkan aku ya… Itu aku habis menyimpan seluruh obat-obatku yang tergeletak di sekitar kasur. Aku panik waktu kamu datang. Jadi pelan-pelan aku membereskan semuanya. Aku hebat bukan menyembunyikannya dari kamu?

Kamu ingat waktu kita menginap di Solo? Iya di hotel yang kamu bilang nyaman. Aku senang melihatmu tidur. Kamu terlihat begitu cantik dan anggun. Tidak seperti biasanya yang selalu cerewet. Sama seperti aku. Hahaha. Aku senang memperhatikanmu di saat-saat seperti itu.

Dan Cantik… aku pamit pergi. Pergi ke tempat yang mungkin kau juga akan berada di sini nanti. Tapi tidak sekarang. Jalan hidupmu masih panjang terbentang. Salamku pada calon suamimu Hidra. Beruntungnya dia mendapatkan kamu yang begitu perhatian dan penuh kasih sayang. Kalau saja aku terlahir menjadi laki-laki pasti aku yang akan menikahimu duluan. Hahahah Untung aku perempuan jadi niatku kuurungkan.

Hei… Jangan tangisi kepergianku ya. Aku kan sudah pamit secara baik-baik. Bahkan aku juga sudah bongkar seluruh rahasiaku. Tapi jika kau masih punya tanya kenapa aku tidak cerita ini semua. Inilah yang kusebut dengan RAHASIA. Aku tak ingin kamu berteman denganku karena kasihan dan tahu bahwa diriku dalam keadaan sakit. Kita berteman tanpa melihat itu bukan?
Aku mencintaimu karena Allah…
Meninggalkanmu Karena Allah…

Sebelum aku benar-benar pamit ada satu rahasia yang ingin aku beritahu padamu…
Jika kau merindukan aku… aku menaruh hatiku pada pemuda di Solo itu. Hatiku sudah kuserahkan padanya. Semoga dia sekarang sehat dan bisa memanfaatkan hatiku dengan baik. 

pun demikian denganmu dan calon keluarga barumu Semoga sehat selalu. Doakan aku di sini dan jangan lupakan aku. Jangan cari di mana liang lahatku ya. Kau tak akan menemukannya :D aku di hatimu…

Sahabatmu… Lana.
                                         ***


“Ma… kenapa mama kasih namaku Lana?” Anak gadisku bertanya saat aku sedang menyisir rambutnya. Aku terdiam sesaat lalu memperhatikan foto pernikahanku dengan kebaya biru.

“Karena kamu sahabat terbaik mama…”Ujarku lalu mencium keningnya.

“Arti Lana itu apa Ma?” Anakku bertanya lagi

“Mama mengambil dari kata kelana… artinya bertualang. Pemberani. Hebat. Kuat. Satu hal lagi… Pandai menyimpan rahasia.” Ujarku.

Lana anakku kemudian gantian mencium pipi kanan dan kiriku. Ia kemudian merangkulku dari arah belakang. Aku teringat Lana sahabatku kini aku mendekapnya secara dekat dan erat.

                                                               


Tidak ada komentar:

Posting Komentar