Rabu, 21 Agustus 2013

"Kak... kamu itu..."

Dua tahun yang lalu cepat berlalu. Masih saja puing kisah itu terngiang. Bukan perihal waktu yang singkat untuk sekadar diingat. Hanya saja di tempat ini dua tahu yang lalu seseorang secara sederhana datang menemuiku dengan setangkai bunga mawar.

Tak pernah ada sedikit sangka maupun sepercik duga bahwa akan ada yang hadir secara spesial memberikan ucapan selamat. Di tengah hiruk pikuk para keluarga yang elok berfoto bersama dengan bersahaja dia meminta izin untuk sekadar menemui. Tadinya beberapa jam lalu panggilan masuk telepon dari seseorang menyatakan menunggu semenjak tadi di tengah bundaran. Pikiran sederhana ada orang iseng yang ingin mengerjai dengan acara seperti ini. Namun semua meleset ketika dia datang menemui diri.

Statusnya masih mahasiswa yang tergolong baru. Dia masih dua tingkat di bawahku. Saat itu ia begitu senada dengan kemeja bergaris coklat seperti kebaya yang aku kenakan. Hanya senyumnya yang berbeda dari biasanya. Di antara sekian banyak yang diwisuda dia datang menemuiku. Entahlah apa maksudnya yang pasti saat itu aku mersa tersanjung karena diperhatikan secara berbeda dibanding teman-teman lainnya. Tak banyak cakap yang diucap. Pun halnya denganku yang hanya mampu menaruh senyum mewakili rasa terima kasihku karena menyempatkan hadir di hari kelulusanku.

Kami berpisah tanpa banyak kata. Om tanteku selaku orangtua yang hadir di wisudaku sudah lelah sehingga mau tak mau aku harus kembali bersama mereka. Sebelumnya sempat kami berpose dua kali selebihnya kami hanya menukar senyum. Setelahnya aku pamit pergi dan dia mengangguk. Selebihnya tak ada. Oh ada… beberapa bunga dari sahabat dan setangkai mawar darinya. Masih kugenggam erat saat itu.

Kini di tempat yang sama namun dengan situasi yang cukup berbeda. Dia yang kini diwisuda. Lucu rasanya jika mengikuti kejadian ini. Tak ada sedikitpun rasa berbeda dibanding saat itu. Bedanya kini aku yang akan melihat dia bertoga dan mengucapkan selamat padanya.

Beberapa waktu lalu tiba-tiba ponselku berdering. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak kukenal mengabarkan bahwa seseorang yang mengirimi pesan tersebut tengah merampungkan sidang skripsinya dan akan diwisuda. Secara tersurat ia mengundang aku untuk berkenan hadir di hari bahagianya. Awalnya aku menimbang namun karena ingat masa di dua tahun yang lalu maka aku mengiyakan.

Kini aku berdiri di tengah lautan manusia bertoga. Aku mengenakan terusan biru senada dengan jilbabku. Aku hanya perlu menunggunya di sini. Tempat di mana dulu aku berdiri. Meski aku tak yakin dia bisa melihatku yang bertubuh tak terlalu tinggi ini. Namun pesan terakhirnya berbunyi seperti itu.

“Kak… tunggu di tempat dulu kita bertemu ya. Nanti aku yang cari kakak”

Aku menurut saja. Kuperjelas sekali lagi bahwa bagiku dia sudah seperti adikku sendiri. Entahlah aku juga tidak tahu mengapa merasa agak sebal jika teman-temanku yang lain menggoda saat tahu aku menghadiri wisuda adik kelasku itu. Semua itu tak lebih dari rasa senang dan bergembira karena dia pun berlaku hal yang sama di saat wisudaku dulu.

Aku terdiam sambil tersenyum mengamati para wisudawan lainnya. Terngiang lagi olehku masa dua tahun yang lalu. Ah sudahlah. Dalam situasi yang tak cukup panas aku masih setia meneteng tiga tangkai mawar putih yang terangkai indah. Tadinya aku mencari mawar kuning namun tak kudapati. Tapi yasudah… mungkin rangkaian bunga ini yang terbaik untuknya.


Hampir setengah jam aku berdiri namun dirinya tak juga kudapati. Mungkin dia tengah sibuk dengan keluarganya seperti yang tengah kulakukan dulu. Tapi… ah sudahlah keberadaanku di sini hanya sebagai pemegang dan pelaksana janji. Aku tak ingin jika janji itu yang memberatkanku nanti.

“Kak…” Suara lelaki agak berat seolah memanggilku. Aku menoleh ke arah kanan dan kudapati dirinya terengah-engah setengah berlari menghampiriku. Mukanya belepotan tepung terigu. Awalnya aku agak susah mengenali karena postur tubuhnya bertambah tinggi. Namun senyumnyalah yang mengindentifikasi bahwa dialah memang orang yang ingin kutepati janji.

“Maaf ya lama… tadi dikerjain sama temen-temen. Dilempar pakai tepung” Ujarnya tersenyum sementara aku hanya mengangguk lalu membalas senyumnya.

“Ini… selamat ya” Ujarku lalu menyerahkan mawar putih padanya. Dia tersenyum lebar seolah mendapat hal yang memang dia inginkan.

“Wah… makasih kak. Eh sebentar ya kak… ada Ibukku” Ujarnya pamit lalu melesap begitu saja dari pandanganku. Padahal sebelumnya aku ingin memberikannya tisu.

Tak berapa lama dia datang dengan seorang Ibu. Ibunya mengenakan kebaya sederhana berwarna senada denganku. Aku menyalaminya. Tapi anehnya ia memelukku dengan erat.

“Sama ibu aja?” Tanyaku mencoba bertanya.

Dia menggeleng sambil tersenyum sementara mawar putih erat digenggam di tangan kirinya.

“Lalu? Sama siapa lagi?” Tanyaku mencoba memastikan siapa saja keluarganya yang turut hadir di wisudanya.

“Sama kakak.” Dia tersenyum meringis. Terlihat manis meski banyak tepung di pipi kanan dan kirinya. Aku membalas senyumnya perlahan. Tak ada kata-kata lain selain itu dan semua sekejap berlalu ketika dia mengajakku berpose bersama.

“Kak… kamu itu kakaku. Kita bersaudara. Kita satu bapak lain Ibu” Ujarnya di jepretan pertama. Aku terdiam seribu bahasa. Dia berucap sambil terus memperhatikan kamera. Temannya yang mengambil gambar untuk kami berdua. Sementara Ibunya menatap kami secara seksama.

Aku menatapnya. Sementara temannya berucap agar aku menatap ke arah kamera. Gambar akan diambilnya sekali lagi. Masih dalam keadaan shok perlahan aku menengok ke arah kamera.

“Aku selalu ikutin kamu kak. Karena kamu kakakku. Idolaku.” Ujarnya lagi dijepretan kedua.

“Kamu adikku beneran?” Tanyaku berusaha mendapat kepastian.

Dia mengangguk perlahan. Memastikan bahwa kata-katanya adalah benar. Entahlah berolah rasa menggugah dijiwa. Komplit semua. Antara kaget setegah tidak percaya bahwa ternyata kami ini adalah saudara. Kami satu Bapak lain Ibu. Pernah aku mengamatinya secara seksama ada sedikit kemiripan di wajah kami. Namun aku tidak pernah berpikir sejauh itu. Dan hebatnya dia bisa menyimpan dan membongkar ini semua tepat di hari ini.

“Aku nggak tahu kalau ayahku punya anak lagi. Maaf ya… kenapa baru beritahu sekarang? Kenapa tidak dari dulu saat ayah tiada?”

“Nggak apa-apa kok kak. Yang penting aku lega. Kakak mau hadir diwisuda aku. Aku senang. Oh iya… itu kakaknya mama. Aku manggilnya Ibu. Mamaku sudah nggak ada setelah ngelahirin aku.” Jelasnya sambil menunjuk Ibu yang tadi memelukku erat.

Ada banyak tanya yang menggantung dalam benak. Namun semua terjawab secara perlahan ketika dia bercerita panjang lebar. Ternyata aku tidak sendiri. Kupikir setelah Ibuku tiada ayah tidak menikah lagi. Namun ternyata dugaanku salah. Aku tidak pernah tahu bahwa ayahku punya putra. Nasib kami berdua pun hampir sama. Ditinggal Ibu setelah berjuang melahirkan kami.

“Panjang kalau kuceritakan jika kakak mau tahu bagaimana caranya aku bisa sampai mencari dan menemuimu kak. Bahkan berkuliah di kampus yang sama denganmu. Yang pasti aku sayang kamu kak” Ujarnya menjawab pertanyaan yang kuajukan setelah kami foto bersama.

 “Kalian kok mirip sih” Ujar temannya sembari memperhatikan foto yang baru saja diambil melalui kamera digitalnya.

“Dia adikku…” Ujarku tersenyum  menatap orang yang belepotan tepung di wajahnya.

“Dia kakakku…” Ujarnya membalas lalu merangkul pundakku erat.

* tamat*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar