Rabu, 18 September 2013

Ada kisah dalam "Perang Tubuh"

Jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 10.00. Suasana Terminal blok M di hari minggu masih seperti biasanya. Ramai dengan kendaraan dan manusia yang berlalu-lalang. Ponselku berdering. Sebuah pesan masuk.

“Sorri Ta… Lu udah sampe ya? Kami baru berangkat” Kalimat di pesan itu sunggu membuat kedua kakiku lemas. Aku tak segera membalasnya. Rasa kecewa dan emosi yang segera meluap kutahan perlahan dengan cara menghembuskan napas berkali-kali. Kebiasaan teman-temanku tak pernah berubah. Selalu saja ngaret bila kita punya temu janji.

Hari ini aku dan kedua teman semasa kuliah bertemu janji di termina blok M. Kami berjanji untuk berangkat bersama menuju Bekasi. Kami ingin menjenguk Tika yang baru sekitar tiga bulan lalu melahirkan. Namun seketika rasa semangat tersebut memudar seketika saat membaca pesan dari Arwa. Arwa ternyata baru berangkat bersama Maria. Baiklah… aku harus habiskan waktu sekitar sejam untuk mengisi  kekosongan yang ada sembari menunggu mereka berdua tiba.

Kulangkahkan kaki menuju Blok M Square untuk sekadar mengisi waktu. Padahal aku tahu jam segitu mal pastinya masih sepi. Saat berjalan menunju pintu selatan kulihat beberapa pedagang buku sudah menggelar lapaknya di lantai paling dasar. Buku… aaaakkkkk

Aku tak akan pernah bisa menahan jika melihat buku. Jika sudah bertemu buku berjajar yang dijual pastilah tangan ini nantinya akan merogoh kocek untuk mendapatkan buku-buku yang baru ditemui dan dijatuhi rasa suka bahkan cinta.

Yap…
Pada akhirnya aku menghampiri seorang pedagang buku yang tengah asyik menata dagangannya. Sang Bapak penjual berkacamata menyambut kedatanganku.

“Ini lagi saleMbak… sepuluh ribu semua” Ujarnya sambil menunjukan buku yang tertata rapi di bagian bawah. Mataku membesar seketika melihat berjejer buku-buku yang mempunyai judul-judul unik dan menarik hati. Tanganku bergegas mengambil beberapa buku dan membaca resensi belakangnya. Kalau sudah begini dipastikan aku pasti akan membeli.

Mataku pada akhirnya tertuju pada sebuah buku tentang difabel. Judulnya Perang Tubuh. Buku ini berkisah tentang kehidupan seorang difabel yang kakinya lumpuh semenjak ia kecil namun masih memiliki semangat dan cita-cita tinggi untuk memperoleh pendidikan.

Buku Perang Tubuh

“Pak buku ini ada lagi nggak?” Tanyaku sembari bertanya ke Bapak-bapak penjual. Bapak itu segera mengambil buku yang tadi kupegang. Mencoba mengingat-ingat. Lalu ia mengangguk-angguk.

“Ada… ada… kok Mbak. Ada lima bahkan.” Ujarnya lalu membuat semangatku naik kembali. Setidaknya menunggu kehadiran kedua sahabatku ada untungnya juga kerena bisa menemukan buku-buku seperti itu. Iya semenjak semester lima aku senang bergulat dengan buku-buku yang berkaitan dengan difabel. Hingga pada akhirnya tema difabel kujadikan sebagai topik skripsiku. Aku butuh lebih dari satu buku semacam ini karena sisanya akan aku berikan kepada rekan-rekanku yang juga tertarik dengan tema difabel.

“Mbak anak sastra ya?” Tebak si Bapak sambil mencari buku yang kuingin. Aku tersenyum mengangguk mantap. “Udah menikah Mbak?” Pertanyaan si Bapak selanjutkan kujawab dengan gelengan kepala disertai senyuman. Pertanyaan aneh yang kuterima di pagi ini.

“Maaf Pak… ada buku ini nggak?” Ujar seorang lelaki yang tiba-tiba datang dan menyerahkan selembar kertas kepada bapak penjual buku. Sang bapak yang tadinya mencari buku yang kuingin seketika menghentikan aktivitasnya dan mengambil secarik kertas yang disodorkan pemuda tadi.

“Oh… ada-ada… sebentar ya.” Ujar sang Bapak lalu menengok ke arahku.

“Mbak sebentar ya…” Ujar sang bapak dan aku pun mengangguk. Sang bapak bergegas berjalan dan mencari di tumpukan buku di sebrang.  Sang pemuda yang juga menunggu bukunya tersebut seketika duduk di sebuah bangku  yang jaraknya hanya dua meter dari tempatku berdiri. Sekilas aku memperhatikannya. Ia sedikit mengatur napasnya perlahan. Entahlah mungkin dirinya habis berlari.

“Nih mas… ada kan” Ujar sang bapak sambil menyerahkan sebuah buku bersampul merah tebal yang kutaksir terdiri lebih dari seribu halaman. Sang pemuda bergegas menerima bukunya mencoba memperhatikan apakah benar itu buku yang dia cari.

“Mas dari Bandung?” Tanya sang Bapak yang pada akhirnya membuatku mencuri dengar pembicaraan tersebut. Maklum jarak kami hanya dua meter.

“Iya Pak” Jawab sang pemuda lalu membuka-buka bukunya.

“Kenapa nggak cari di Palasari saja? Kan di sana lebih banyak” Tanya sang bapak lagi sembari mengembalikan sebuah kertas yang tadi diserahkan sang pemuda.

“Di Palasari udah nggak ada Pak. Makanya saya belain ke sini pagi-pagi” Ujarnya lagi

“Anak  ITB kimia ya?” Si Bapak bertanya lagi dan pemuda tadi tersenyum sembari mengangguk. Aku yang semenjak tadi memperhatikan percakapan mereka secara tidak sengaja bergegas mengalihkan pandangan. Sampai pada akhirnya…

“Mbak… ini anak ITB… Kimia Mbak. Mbak kan anak sastra. Cocoklah” Celoteh sang Bapak hingga pada akhirnya membuatku menoleh berbarengan dengan sang pemuda

“Apaan sih Pak? Buku yang saya cari ada nggak Pak?" Hampir saja aku terpeleset dalam sikap salting. Untung buru-buru aku bisa bersikap biasa. Si bapak benar-benar membuat diriku mengelus dada. Maksudnya apa coba?

“Oh iya… sebentar-sebentar. Nah sekarang gini deh… saya kan lupa taruh bukunya di mana. Mbak cari di sekitar sini nah saya cari di sekitar situ” Ujar sang Bapak yang menyuruhku mencari di bagian dekat pemuda itu duduk. Sementara sang bapak berjalan ke tempatku berdiri. Aku mencoba bersikap biasa meski pada dasarnya aku tahu pasti si bapak punya maksud yang aneh-aneh. Baiklah akhirnya aku mencari buku yang kuingin di dekat sang pemuda tadi. Saat aku beneran sibuk mencari sekilas kulihat sang bapak yang hanya berdiri memandangiku tanpa bergerak mencari buku yang kumau.

“Pak… cariin… kok malah ngelihatin saya?” Ujarku pada akhirnya. Sang bapak tersenyum.

“Mas… itu bantuin Mbaknya… udah saya kasih kesempatan juga. Kan masnya Kimia… Si Mbaknya Sastra tuh” Ujar sang Bapak lagi dan membuatku pada akhirnya tertunduk malu sambil geleng-geleng kepala.

Pada akhirnya aku hanya serius menatapi jejeran buku sembari mencari buku yang kumau. Tanpa kuhiraukan sedikit pun kata-kata sang bapak.

“Anak sastra?” Pemuda di sampingku membuka suara. Aku menoleh dan mengangguk sekilas. Lalu mataku terlempar jauh ke arah buku-buku di bagian ujung.

“Cari buku apa?” Tanyanya lagi mencoba mencari tahu. Baiklah kalau begitu aku akan mencoba bersikap ramah.

“Buku Perang Tubuh. Kaya gini” Ujarku lagi sembari memperlihatkan buku yang kuingin.

“tentang apa?” Ia serius menatap buku yang kutunjukkan

“difabel” Jelasku

“Dongeng?” Dia bertanya lagi dan aku buru-buru menggeleng.

Pada akhirnya akupun menjelaskan hal-hal terkait difabel yang kumaksud. Aku menerangkan bahwa aku gemar mengumpulkan karya sastra dari penulis difabel atau yang akrab disapa dengan orang-orang disabilitas. Sang pemuda mengangguk-angguk paham dengan penjelasan singkat yang aku jelaskan.

“Nah… gitu dong… kan cocok tuh” Ucapan sang bapak penjual pada akhirnya memberhentikan percakapanku dengan sang pemuda. Ini semua di luar dugaan. Kok aku malah ngobrol sama dia -.-“

“Mau dibantu cari?” Sang pemuda menawarkan diri. Kulihat sang bapak penjual bukannya mencari buku yang kuingin tapi justru memperhatikan kami. Aku pun menolak secara halus atas tawarannya.

“Pak cariin buku saya pak jangan ngelihatin aja” Ujarku pada akhirnya. Sang bapak terkekeh lalu bersiul-siul sendiri.

“Gimana sih Mbak… kok nggak mau dibantuin sama Masnya?” Pertanyaan sang bapak pada akhirnya hanya kujawab dengan senyuman.

Sang pemuda bergegas menanyakan harga buku merah yang kini ada di tangannya. Sang Bapak pada akhirnya memberikan harga. Tak lama terjadi tawar menawar antar keduanya. Hingga pada akhirnya deal buku tersebut terjual dengan harga Rp150.000. Setelah membayar sang pemuda bergegas pamit.

“Duluan ya Mbak… semoga bukunya dapet” Ujarnya pamit dan aku pun mengangguk.

“Yah si Mbak… padahal kesempatan tuh tadi” Ujar sang bapak seolah menyesali kepergian sang pemuda. Gantian aku yang terkekeh. Ada-ada saja niat si bapak mencoba menjodohkan kami. Kocak!

Aku bergegas duduk di tempat yang sebelumnya diduduki oleh sang pemuda. Sembari menyanggah lelah berdiri semenjak tadi . Sang bapak pada akhirnya menyerah terhadap buku yang aku ingin. Sepertinya beliau benar-benar lupa menaruhnya di mana. Aku pun pada akhirnya pasrah. Tak apalah jika hanya menemukan satu. Setidaknya aku tahu bahwa penulis difabel masih ada dan tetap eksis.

Mataku yang pada akhirnya melihat judul-judul buku di hadapanku seketika tertuju pada sebuah kertas yang tertulis “Institut Teknologi Bandung”  Alamak. Jangan-jangan ini kertas pemuda tadi. Kuberanikan diri untuk memegang dan membacanya. Benar saja sepertinya ini milik pemuda tadi. Di kertas tersebut tertera judul buku dan beberapa soal. Sepertinya kertas itu adalah kertas soal. Dan ternyata kertas soal tersebut berlapis berlembar-lembar kertas berwarna putih yang ternyata adalah lembar jawaban. Hal itu terlihat dari tulisan tangan dengan tinta biru yang menuliskan jawaban-jawaban dari soal di halaman depannya. Pertanyaannya berpusat sekitar atom ataupun molekul. Entahlah aku tak paham.

“Pak… ini punya mas yang tadi” Ujarku sambil menunjukkan kertas yang kupegang. Sang bapak memperbaiki posisi kacamatanya dan mengangguk-angguk membenarkan.

“Ya ampun… ini kertas yang tadi. Kasihan banget masnya ketinggalan” Ujar sang bapak dan aku pun turut prihatin.  Kalau saja di kertas itu ada nomor telepon pasti sudah kuhubungi. Sayangnya yang tertera di kertas tersebut hanyalah nama dan nomor pokok mahasiswa.

“Nanti kalau dia inget dia pasti balik lagi Pak” Ujarku mencoba menghibur sang bapak yang sepertinya kecewa karena air mukanya terlihat demikian.

“Iya… semoga ya mbak. Siapa tahu juga berjodoh sama Mbaknya” Ujar sang Bapak benar-benar di luar pemikiranku. Sempat-sempatnya sang bapak berujar seperti itu di saat seperti ini.

“Ya ampun Pak… sempet-sempetnya berpikir gitu. Saya udah lulus kuliah kali Pak… dia masih kuliah.” Ucapanku kali ini tak bisa kukontrol sendiri. Kok sekarang aku ikut-ikutan berpikir ke arah sana.

Ponselku berdering. Temanku menelepon dan mengatakan bahwa mereka sudah mendarat di halte transjakarta Blok M. Aku pun bergegas mengiyakan akan menuju ke sana. Setelah membayar buku yang aku beli aku pun bergegas pamit kepada sang bapak.

“Ini kertas masnya di bawa saja mbak. Siapa tahu Mbak ketemu lagi sama masnya nanti…” Ujar sang bapak sembari menyodorkan kertas milik pemuda tadi. Aku pun menolak karena kupikir belum tentu bertemu dengan sang pemuda. Justru yang aku perkirakan sang pemuda akan kembali ke tempat bapak ini.

“Udahlah saya percaya nanti si Mbak ketemu sama masnya” Sang Bapak memaksa. Aku bersikeras menolak. Namun sang bapak tetap memaksa. Di sisi lain ponselku terus berdering. Temanku mungkin kini gantian sedang menungguku yang tak kunjung muncul.  Paksaan si bapak kali ini pada akhirnya mampu membuat kertas milik sang pemuda berada di tangan. Baiklah dari pada aku tertahan terlalu lama di toko tersebut. Bergegas aku berjalan cepat menaiki tangga. Baru dua langkah berjalan wajah sang pemuda tadi kini berdiri di hadapan.

“Mas… ini kertasnya ketinggalan” Ujarku refleks pada akhirnya. Sang pemuda tersenyum menerima tiga lembar kertas yang kuserahkan.

“Makasih… saya baru mau ke sana lagi.” Ujarnya sembari tersenyum

“Tadi si Bapak maksa aku nyuruh bawa kertas ini” Ujarku menjelaskan semuanya. Sang pemuda tetap menjaga senyumnya.

“Tuh kan jodoh” Teriakan sang Bapak penjual buku membuat kami berdua menoleh ke arahnya. Untung masih sepi. Kalau penuh aku sudah tidak tahu lagi bagaimana melewati ini semua. Aku pun pada akhirnya  tersenyum perlahan. Lalu bergegas pamit padanya.

“Oh iya Mbak… ini” Ujar sang pemuda saat aku berusaha melewatinya. Aku menoleh lagi. Sebuah buku dengan judul Perang Tubuh disodorkannya kepadaku. Aku melongo saat itu. Kaget sekaligus takjub.

“Tadi saya ketemu buku ini di toko ujung. Tadi lagi nyari buku ini kan? Di bapak tadi belum ketemu juga? Sang pemuda bertanya. Dan aku hanya menggeleng. Ia kemudian menyuruhku untuk menerima buku dari tangannya.

“Berapa ini mas?”Tanyaku lagi dan dia tersenyum.

“Nggak usah… buat Mbak aja. Makasih ya udah dibawain” Jelasnya sembari memasukkan kertas tadi ke dalam tasnya.

“Eh ini beneran gratis?” Aku memastikan dan sang pemuda mengangguk. Pada akhirnya aku mengucapkan terima kasih padanya. Hingga pada akhirnya dia bertanya terkait kegiatanku saat ini. Sembari berjalan aku menjelaskan bahwa aku ada janji dengan sahabatku di terminal blok M. Aku tak bisa bercakap-cakap terlalu lama dengannya. Selain karena tidak enak… juga karena sahabatku sudah menunggu. Aku pun bergegas pamit unudr diri dengannya setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih lagi untuk kesekian kalinya.

“Suatu saat lagi kita ketemu lagi Mbak. Insha Allah” Ujarnya dan aku hanya nyengir sembari  mengangguk. Aku tak paham perkataannya  tapi aku mengaminkan dalam hati jika bisa bertemu lagi dengannya. Aku melambaikan tangan dengan buku Perang Tubuhdigenggaman ke arahnya. Aku bergegas berlalu meninggalkan lingkungan blok M dan bergegas menemui kedua sahabatku.

“Maaf ya telat…” Ujar Arwa dan Maria berbarengan. Aku tersenyum lalu merangkul mereka berdua. Kangen berat karena sudah lama tak bertemu mereka. Arwa dan Maria memperhatikanku yang nampaknya agak berbeda.

“Tumben… biasanya kalau kita telat dateng yang dipasang muka kecut. Sekarang kaya orang bahagia banget” Arwa bertanya dan aku tersenyum.

“Ah pokonya aku bersyukur deh karena kalian datengnya terlambat Kalau enggak aku nggak akan mungkin sebahagia ini” Ujarku tersenyum dan membuat kedua sahabatku bingung. Aku tak menceritakan kejadian yang baru saja aku alami. Hanya saja aku takut terlalu berlebihan menikmati rasa bahagia ini. Jadi kusimpan kejadian ini untukku saja.

Dalam bus perjalanan menuju Bekasi aku duduk terpisah dengan kedua sahabatku. Bergegas aku keluarkan buku Perang Tubuh yang diberikan pemuda tadi dari dalam tas. Anehnya aku mengusap-ngusap buku itu sambil tersenyum sendiri.

Aku berniat membaca buku ini selama perjalanan menuju bekasi. Namun niatku terhenti saat kubuka halaman pertama dari buku di tanganku kini.
“Untuk gadis yang mampu membuka wawasan baru padaku secara singkat. Dan menarik hatiku secara kuat “
Kata-kata itu tertulis dengan tinta biru. Di bawahnya terdapat sebuah nomor yang kutebak adalah nomor telepon sang pemuda tadi. Oh Tuhan…  kau hadirkan cinta lewat sebuah buku.
                                                ***
Hari ini adalah hari spesial bagiku. Seorang pemuda yang dulu kutemui  di daerah Blok M dan memberikan sebuah buku padaku akan diwisuda. Ya… pemuda yang kini mengemban gelar Master dari program Kimia dengan bidang khusus Kimia Fisik menjadi sumiku kini. Doa dari sang bapak penjual buku ternyata manjur juga. Itulah jodoh… dia bisa ditemukan di mana saja.


Tamat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar