Sabtu, 14 September 2013

Pelajaran Berharga untuk Rangga

“Aku mau sepatu baru, Ma. Pokoknya aku mau beli yang baru!”Ini sudah yang ketiga kalinya Rangga merengek minta dibelikan sepatu. Mama bukannya tidak mau membelikan hanya saja sepatu Rangga masih banyak dan bagus-bagus di rumah. Aku setuju dengan pendapat mama yang tak melulu membelikan apa yang Rangga minta.

“Sepatu kamu kan udah banyak, Dek” Aku mencoba  membujuknya. Adikku yang masih berusia sembilan tahu ini justru melengos menatapku.

“Kamu bukannya baru dibeliin ayah sepatu dua minggu yang lalu ya?” Aku bertanya lagi.

“Itu sepatu udah ada yang nyamain, Kak. Males aku pakainya” Rangga menjawab cuek sambil melipat ke dua tangannya. Rangga kembali merengek sambil menarik tangan mama. Mama menggeleng melihat kelakuan anak bungsunya.

“Mama jadi nyesel deh manjain kamu. Kamu jadi berlebihan gini.” Ucapan Mama kali ini kuberi acungan jempol. Setidaknya mamaku akhirnya sadar bahwa selama ini telah memanjakan Rangga secara berlebihan. Adik yang terpaut delapan tahun denganku ini memang selalu mendapat perlakuan spesial dibandingkan aku dan kakak. Maklum, selain karena anak bungsu Rangga juga anak lelaki  satu-satunya di keluarga kami.

Aku dan mama pada akhirnya cuek saja meninggalkan Rangga di depan toko sepatu. Rangga pada akhirnya mengikuti jejak kami di belakang meski dirinya masih bersungut-sungut kesal.

“Ma… hari minggu nanti Lita izin ajak Rangga jalan ya. Mau Lita kasih pelajaran. Biar dia nggak berlebihan terus.” Ujarku pada mama dan mama sejenak terdiam.

“Tenang Ma… Mama percaya saja sama Lita. Pelajaran kali ini akan berharga sekali buat Rangga.” Ujarku meyakinkan mama. Namun sepertinya mama masih belum yakin.

“Kamu mau kasih pelajaran apa?” Mama bertanya dan akhirnya aku membisikan rencanaku ke mama. Mama sedikit terkejut mendengarnya. Namun pada akhirnya mama menyetujui rencanaku.

“Rangga… hari minggu besok Kak Lita mau ajak kamu jalan.” Ujar Mama lalu mengandeng Rangga. Wajah Rangga tetap cemberut. Ia masih saja merengek minta dibelikan sepatu.

“Nanti habis jalan… Kak Lita anterin kamu beli sepatu deh” Ujarku dan mata Rangga mulai berbinar.

“Kakak nggak akan bohong ya? Hari minggu besok beli sepatu buat Rangga?” Ujar Rangga antusias

“Iya… tapi beli sepatunya habis kamu ikut Kak Lita jalan” Jelasku dan Rangga mengangguk mantap. Mama melirik ke arahku bingung.

“Tenang aja Ma…” Bisikku ke mama.
***

Hari minggu ini aku dan Rangga berangkat menuju sebuah tempat. Sengaja aku tidak membawa mobil dan mengunakan moda transportasi umum. Rangga yang awalnya mengeluhkan panas karena kendaraan yang kami naiki tanpa pendingin udara seketika merasa takjub karena ini adalah pengalaman pertama bagi dia menggunakan transportasi umum selain taxi.

“Kak… Ibu itu dikasih duduk ya? Kasihan” Rangga menunjuk ke seorang Ibu-ibu yang membawa tas besar dan seorang balita. Aku mengangguk setuju dengan pendapatnya. Rangga berdiri lalu memberikan duduk kepada ibu-ibu tadi.

“Kakak… kakak nggak mau ngasih aku duduk?” Rangga berbisik ke arahku dan aku tersenyum sambil menggeleng. Aku ingin memberi banyak pelajaran kepada adik lelakiku ini. Aku tetap duduk santai di tempat duduku sementara Rangga memegang tanganku erat jaga-jaga agar tidak jatuh karena ia berdiri. Kopaja yang kami naiki agaknya memang penuh. Sekitar lima belas menit aku mencoba mengetes adikku untuk bertahan berdiri. Namun pada akhirnya aku sendiri yang tidak tega. Payah!

“Nih Dek, duduk” Aku bergegas berdiri namun Rangga malah kembali menyuruhku duduk. Aneh.

“Kakak duduk ajalah. Dari tadi yang Rangga lihat perempuannya pada duduk semua. Kasian kakak kalau berdiri sama laki-laki kaya di belakang Rangga. Nanti kakak diapa-apain lagi” Bisik Rangga ke arahku dan membuatku tertawa kecil. Agaknya dia khawatir terhadap kakak perempuannya yang cantik ini. Baiklah aku tetap duduk santai di bangku sembari memegang tangan Rangga erat supaya dia seimbang berdiri.

Perjalanan hampir melewati sekitar satu setengah jam. Kami turun di pertigan Salemba.

“Kak… sejauh itu tadi Cuma bayar Rp3000 ?” Rangga antusias bertanya dan seolah takjub. Aku mengangguk. “Murah ya Kak… padahalkan jauh.” Ujarnya lagi dan aku mengangguk saja. Kubiarkan Rangga asyik bermain dengan pikirannya.

“Beli Es krim dulu yuk.” Ajakku ke sebuah mini market yang tak jauh dari tempat kami turun. Aku membeli lebih dari 20 cup es krim.

“Kakak, kita mau ke mana sih? Terus ngapain kakak beli es sebanyak itu?” Rangga bertanya lagi. Aku tak menggubris pertanyaannya karena kerepotan membawa barang belanjaan.

“Sini deh… Rangga bantuin” Ujar Rangga dan akupun tersenyum mantap. Rangga membantu membawa sebagian barang belanjaan. Kami berjalan menyusuri sebuah gang kecil. Rangga berkali-kali bertanya kepadaku tentang tujuan kami. Berkali-kali pula aku hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman. Hingga sampailah kami di sebuh rumah singgah yang memang senantiasa rutin aku kunjungi setiap sebulan sekali.

Dua puluh orang anak berhamburan menyambut kedatanganku dan Rangga. Mereka berbahagia terlebih aku membawakan es krim kesukaan mereka. Sembari duduk melingkar di atas tikar dan membagikan es krim secara estafet kepada mereka… kami bercakap-cakap.

“Kak Lita… itu adik kakak?”Tanya Fadli sembari menaruh kruk-nya (Kruk* alat bantu jalan berupa tongkat) di lantai. Aku mengangguk mengiyakan.

“Kamu namanya siapa?” Fadli mencoba bersalaman dengan Rangga. Rangga yang semenjak tadi terbengong-bengong dengan situasi seperti ini bergegas menjabat tangan Fadli.

“Rangga” Ucap Rangga disertai senyuman.

Awalnya pembicaraan antara Rangga dan teman-teman di rumah singgah berjalan kaku. Namun lambat laut akhirnya mereka semua bisa berbaur. Aku membiarkan Rangga mengobrol dan bertukar cerita dengan anak-anak di rumah singgah ini. Sementara di sisi lain aku mengobrol dengan Pak Budiman selaku pendiri rumah singgah.

“Alhmdulillah Mbak Lita… proposal pengajuan kaki palsu yang Mbak Lita usulkan sekarang sedang dirundingkan dengan berbagai pihak yang mau jadi sponsornya mbak.” Ucapan Pak Budi pada akhirnya membuatku lega. Setelah hampir setahun lamanya aku dan beberapa teman berusaha untuk mendapatkan sponsor untuk adik-adik di rumah singgah agar mendapat bantuan kaki palsu menemukan jalan buntu pada akhirnya kini berbuah manis juga.

Alhmdulillah Pak. Syukur kalau gitu.”

“Nanti waktu acara peresmiannya saya minta Mbak Lita sama rekan-rekan bisa hadir ya. Insha Allah nanti tanggalnya akan saya kabari minimal seminggu sebelum acara” Ujar pak Budi lagi dan aku mengangguk mantap.

Hampir tiga jam aku dan Rangga berada di rumah singgah. Setelah menunaikan salat zuhur berjamaah dan makan siang bersama… aku dan Rangga akhirnya pamit.

“Rangga… kapan-kapan main lagi ya. Nanti kamu ceritain lagi kisah robot hebat yang kaya tadi.” Ujar Fadli disertai anggukan adik-adik lainnya.

“Sipp… aku pasti main ke sini lagi. Nanti sekalian aku bawain deh mainannya.” Ujar Rangga sambil mengacungkan jempolnya.

“Wah kami tunggu loh…” Ujar Majid sembari berusaha berdiri bersadar pada kruk-nya. Rangga mengangguk mantap. Rangga pun menyalami teman-teman barunya satu persatu.
***
Sesuai dengan janjiku kepada Rangga saat ini aku mengantarnya ke sebuah toko sepatu. Biasanya dia akan segera antusias memilih model sepatu baru dengan merk-merk ternama. Namun kini kulihat kelesuan di wajahnya.

“Kok kamu cemberut?” Tanyaku sembari mencoba memilihkan beberapa sepatu yang mungkin akan membuatnya tertarik seperti biasa.

“Aku nggak mau beli sepatu, Kak” Ucapnya begitu saja. Rangga tertunduk dan diam.  Sepertinya pelajaran yang kuberikan hari ini berhasil.

“Lho kenapa? Kakak kan udah janji mau antar kamu ke toko sepatu habis kamu ikut jalan-jalan sama kakak” Ujarku mendekat ke arahnya. Rangga justru berjalan perlahan. Tidak menggubris pertanyaanku. Ia berjalan ke luar toko sepatu. Aku mengikutinya.

“Terus kita ke mana sekarang? Pulang?” Tanyaku lagi dan Rangga menunjuk ke arah sebuah bangku kosong di luar toko dekat taman. Sepertinya ia lelah. Aku membelikannya sebotol minuman rasa jeruk.

“Kak… Janji kakak ke Rangga diganti boleh nggak?” Ucap Rangga membuatku mengernyitkan dahi.



“Rangga nggak usah beli sepatu. Tapi… kakak harus anterin Rangga ke sana lagi minggu depan.” Permintaan Rangga kali ini membuatku tersenyum penuh kemenangan.

“Rangga malu, Kak. Kemarin Rangga nangis-nangis minta dibeliin sepatu. Padahal sepatu Rangga di rumah juga banyak. Udah gitu alasan Rangga beli sepatu karena sepatu Rangga ada yang nyamain. Tapi, pas tadi Rangga lihat Fadli sama teman-teman yang lain Rangga jadi malu. Mereka mungkin nggak pernah berpikir mau gonta-ganti sepatu kaya Rangga. Kaki mereka kurang lengkap. Tapi hebatnya mereka masih bisa senyum ketawa-ketawa. Mereka nggak ngeluh tuh. Bahkan sepertinya mereka nggak pernah ngerengek-rengek kaya Rangga. Padahal usia mereka ada yang di bawah Rangga” Kalimat yang meluncur dari mulut mungil adikku ini pada akhirnya juga membuatku terdiam.

“Jadi, Kak Lita mau kan nemenin Rangga minggu depan ke sana lagi?” Rangga memohon serius. Tak ada rengekan untuk permintaannya kali ini. Aku mengangguk menyanggupi permintaannya.

“Aku mau minta maaf ke mama habis ini, Kak. Pulangnya mampir ke toko bunga yuk Kak. Aku mau kasih mama bunga. Mama pasti capek banget ngurusin aku yang manjanya ampun-ampunan. Aku tuh selama ini lebai banget ya Kak. Berlebihan” Ucapan Rangga benar-benar di luar nalar logikaku. Secepat itukan dia berpikir dewasa?

“Minggu depan kalau ke sana lagi Rangga mau bawa mainan robot-robotan Rangga Kak. Tadi Rangga cerita loh ke temen-temen tentang robot-robotan yang Rangga punya…” Rangga memulai kisahnya sepanjang perjalanan menuju toko bunga. Aku mendengarkan dengan setia terkait kisahnya hari ini. Syukurlah kalau ternyata Rangga mendapatkan pelajaran banyak di hari ini. Tak terkecuali denganku. Aku belajar berterima kasih kepada mama lewat Rangga. Sementara Rangga belajar sangat banyak tentang rasa syukur melalui teman-teman barunya.


Tamat

2 komentar:

  1. maknanya dalam sekali, saya suka cerpen kamu. :D

    BalasHapus
  2. Wah terima kasih Izza... saya juga suka dengan tulisanmu apalagi terkait prestasi yang kamu raih :D

    BalasHapus