Selasa, 10 September 2013

Musuh Terbesar Siang Tadi

Baru sekitar lima belas menit aku merebahkan tubuh siang ini di kasur depan. Badan agaknya sudah mulai kacau terlebih semenjak malam tak juga kuistirahatkan dengan semestinya. Tiga hari belakangan ini insomnia menghampiri. Tak salah rasanya jika aku menggunakan istilah itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata Insomnia memiliki arti keadaan tidak dapat tidur karena gangguan jiwa. Yap… berarti memang benar agaknya bahwa ada sedikit gangguan dalam jiwa ini. Tapi jika ditanya bagian jiwa sebelah mana aku sendiri pun tak tahu letaknya.

Balik ke soal waktu istirahatku. Total dari 24 jam yang senantiasa hadir dalam raga ini hanya 3 jam yang kugunakan untuk memejamkan mata. Sisanya? Jangan berharap ada segudang aktivitas yang aku lakukan. No No… salah besar. Selama tiga hari ini waktuku habis di depan layar netbook berukuran kurang dari 11 inch dan juga merenung memikirkan sesuatu atau banyak hal dalam diri. Eitsss… ini bukan sekadar lamunan tak manfaat ya. Percayalah setidaknya sedikit padaku.

Dengan kondisi yang demikian aku hajar tubuhku untuk tetap melakukan rutinitas yang tak bisa terpisahkan dalam hidup seperti bernapas makan minum mandi dan lain-lain (Yaiyalah kalau enggak berarti udah nggak hidup lagi). Akhirnya setelah pagi hingga zuhur tadi melakukan serangkaian perenungan dan juga pengetikan (ceilah) aku pun memutuskan untuk mengistirahatkan badan. Dan… belum sampai terlelap lebih dalam tiba-tiba ketukan pintu berkali-kali bergema dan membuyarkan konsentrasi tidurku.

Kaget dan setengah dalam keadaan sadar aku bergegas bangkit dari kasur dan begitu saja membuka pintu. Tanpa kupedulikan siapa yang mengetuk. Semua reflex begitu saja. Sambil mengatur napas perlahan aku memperhatikan dua orang perempuan paruh baya berjilbab berdiri di hadapanku.

Tanpa mengucap salam. Tanpa bilang maaf atau sekadar permisi salah seorang diantara mereka secara membabi buta menyerangku dengan kata-kata sembari menyodorkan empat buah bungkus kecil “larvasida” (tulisannya begitu) yang bergambar seorang penderita penyakit kaki gajah.

“Ini harus dipake. Demi mencegah terjadinya penyebaran nyamuk cikungunya. Semua ibu-ibu yang ada di sini sudah pakai. Adik namanya siapa? Atau adik yang tinggal di kontrakan sini? Bapaknya ke mana? Saya mau data dulu” Beuh… kalimat si ibu benar-benar merasuk dalam otak dan mampu kuhafal di luar kepala. Aku yang saat tadi dalam keadaan setengah sadar langsung beristigfar. (Maksudnya biar sadar 100%) Aku menyebutkan namaku dan juga mengatakan bahwa aku penyewa kontrakan di sini. Ibu satunya sibuk mencatat namaku sementara satunya tetap mengacungkan bungkusan itu agar aku memegangnya.


bungkusan kecil tadi


Aku akhirnya memegang keempat bungkusan tadi. Baru sedetik kupegang sang ibu langsung saja berujar.

“Ini dipakainya di kamar mandi. Dituangin aja setiap sebulan sekali. Satu harganya lima ribu” Jelas sang ibu merinci dan secara tidak langsung aku merasa sedang diperas. (Orang yang Bangun tidur dalam keadaan kaget biasanya emosisnya bisa memuncak. Untung Ingat Tuhan. Jadi ke kontrol sedikitlah)

“Ini ada izin RT dan RWnya bu?” Tanyaku baik-baik sementara kesadaranku sudah hampir mencapai 100%. Sang Ibu yang mencatat buru-buru mengangguk-anggukan kepala. Sementara ibu yang menyodorkan bungkusan tadi tidak kalah menyerangku balik dengan kata-kata.

“Ibu Adam sudah beli. Yang disebelah sudah. Ini program setahun sekali. Dan semua warga sini sudah membelinya juga.” Jelasnya dan aku menarik napas perlahan.

“Mana surat izin peredarannya Bu. Saya mau lihat?” Tanyaku sembari menatap kedua matanya lalu bergantian menatap sang ibu satunya. Mereka berdua langsung gelagapan karena memang sepertinya mereka tak punya surat izin dari RT/RW setempat. Aku sudah terbiasa untuk teliti dengan hal-hal semacam ini. Dan bagiku tak salah jika menanyakan sesuatu yang memang menjadi hakku untuk tahu.

Tak mau memperpanjang urusan akhirnya aku mengembalikan tiga bungkus yang diberikan. Bermaksud mengambil satu saja. Bukan lantaran aku pelit atau apa. Hanya saja kamar mandi di kontrakan mungilku ini masih menggunakan ember plastik. Jadi kupikir satu saja cukup. Lagi pula setiap mandi aku selalu menguras ember tersebut. Insha Allah kupastikan tak ada jentik nyamuk yang bersemayam. (Mudah-mudahan semoga)

“Minimal harus ambil empat!” Ujar sang ibu yang kembali menyodorkan tiga bungkus sisanya. Entahlah rasanya emosiku saat itu tak bisa lagi dibendung. Aku sudah bersabar dari awal mula mereka bertamu dan kini dengan seenaknya saja mereka memaksaku membeli empat-empatnya dengan cara yang sungguh tak elegan. Mereka memaksa tanganku menerimanya. Entahlah mungkin aku yang terlalu berprasangka terhadap orang-orang seperti ini. Masalahnya aku tidak suka dengan caranya.

Aku masih tersenyum dan menjawab dengan suara yang menurutku terlampau lembut dan sabar saat itu.

“Maaf Ibu satu saja cukup” Jelasku lagi dan si Ibu tetep kekeuh menyodorkan bungkusan tersebut kepadaku. Lalu kamu tahu apa yang terjadi? Aku dirasuki setan!

“Bu… saya bilang satu saja cukup. Ibu nggak ngerti juga ya? Kalau nggak ya sudah saya nggak mau beli.” Ujarku dengan menaikan intonasi.

Dalam hati aku sadar sekali bahwa apa yang baru kulakukan itu tak sopan dan tak elok. Tapi kan sudah kubilang aku sedang dirasuki setan tadi. Jadi emosi menjadi pemenangnya. (Syaitan berlonjak-lonjak kegirangan) Nauzubillah!!!!!!!!!!

Sang Ibu bukannya paham dengan maksud dan inginku eh dia malah menawar.

“Dua deh Mbak ya… Biar pas sepuluh ribu” Ujarnya lagi entah dengan perasaan apa dia mengutarakan itu semua. Dia menyodorkan sebungkus lagi ke hadapanku.

“Ya Allah Ibu… saya bilang satu cukup!” Ujarku lagi dan aku merutuki diriku sendiri. (Kenapa aku mesti bawa-bawa nama Tuhan… dengan kondisi demikian. Maksudku aku ingin berlindung agar emosi yang ada dalam diriku bisa redam sedikit demi sedikit)

Setelah bersikukuh dengan pendapatku akhirnya ibu yang sibuk mencatat dengan buku dan pulpennya bergegas mengiyakan. Menyudahi ini semua. Aku masuk ke ruang tengah. Membuka dompet marunku sembari menggeleng-geleng. Mengeluarkan uang lima ribu rupiah. Lalu menyerahkan uang itu padanya.

Dan kamu tahu apa yang terjadi? Tanpa bilang permisi dan salam selayaknya orang Islam sang ibu yang tadi menyerangku dengan untaian kata yang tidak begitu enak pergi begitu saja. Untunglah sang ibu-ibu pencatat tahu etika bertamu. Dia mengucapkan salam dan pamit permisi kepadaku.

Setelah kejadian itu berlalu. Aku terbengong-bengong sambil menatap sebuah bungkusan yang berisi obat pembasmi jentik nyamuk itu. Apa yang sudah aku lakukan barusan? Aku merutuki diri sendiri yang dengan mudahnya terpancing emosi. Mungkin juga tidak ikhlas dengan apa yang dibeli karena setengah dipaksa. Mungkin itu cara dua ibu tadi dalam memperoleh rizki atau memang pekerjaannya berkeliling bertugas untuk memperingatkan warga agar terhindar dari persebaran nyamuk cikungunya. Namun semoga cara menjual atau menawarkannya bisa lebih baik lagi

Astagfirullah… maafkan saya Tuhan. Maafkan sikap saya yang tak sopan ke Ibu-ibu tadi. Itu semua karena saya hilang kendali. Memang musuh yang paling besar adalah hawa napsu sendiri karena mudah terpancing emosi atau berprasangka yang tidak-tidak pada orang lain.

Semoga Engkau senantiasa mengampuni dosa-dosa hamba serta memberi rizki pada ibu-ibu tadi dengan keridhoan. Aamiin 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar