Jumat, 06 September 2013

Kelengkeng


Kelengkeng
Siapa yang tak tahu tentang buah mungil berkulit cokelat ini? Buah yang memiliki rasa manis ketika sudah matang ini adalah buah yang cukup digemari orang-orang di Indonesia termasuk saya. Kenapa saya berani bilang buah ini banyak digemari orang-orang di Indonesia? Ya karena buah ini banyak di jual di mana-mana. Dari mulai emperan terminal, pasar, hingga kelas supermarket. Buah ini juga menjadi salah satu bagian dari isi es buah.

Buah yang memiliki daging berwarna putih agak jernih ini tergolong sebagai salah satu buah kesukaan saya. Lho? Kan tadi sudah dijelaskan di atas. Kenapa pernyataanya diulang lagi?

Hehehe hal ini tak lain dan tak bukan karena memang saya suka. Selain suka dengan rasanya buah ini juga menyimpan kenangan yang teramat berarti buat saya.
Kenangan macam apa itu? Mau tahu aja atau mau tahu sekali?

Hehehe baiklah saya akan berbagi kisah tentang buah yang menjadi teman hidup saya selama tiga tahun lamanya ini. Wew, teman hidup. Lebai amat. Memangnya kamu tinggal di pohon kelengkeng? Dengan jelas saya mengatakan tidak. Tapi lebih tepatnya saya tinggal di bawah naungan pohon kelengkeng.

Dulu… saat saya di Tumpang (Malang JATIM) rumah kakek saya memiliki sebuah pohon kelengkeng yang teramat besar. Pohon kelengkeng tersebut mampu memberikan keteduhan rumah kakek sekaligus memberi keteduhan pada jalan utama di depan rumah. Sangking besarnya, butuh tiga orang yang saling berpegangan tangan untuk memeluk batang pohon tersebut.

Pohon kelengkeng tersebut termasuk salah satu dari dua pohon kelengkeng terbesar di jalan Puntadewo. Setiap musim kelengkeng tak jarang banyak anak-anak kecil yang menjentikkan ketapelnya berharap mendapat segerombol kelengkeng yang jatuh. Saya yang saat itu duduk di kelas lima sekolah dasar pun turut menjadi bagian dari tingkah polah anak-anak tersebut. Bedanya saya mengambil kelengkeng menggunakan senggek atau sebuah kayu panjang yang bagian kayunya telah dibelah dua.


Bersama adik yang saat itu masih duduk di kelas satu, kami senang melakukan hal itu. Meski panas matahari terik menyinari, tapi itu semua tak pernah menjadi masalah buat kami. Toh kami memiliki rimbunan keteduhan yang berasal dari daun-daun pohon kelengkeng besar. Kalau kami beruntung, setiap pagi pasti kami menemukan sebutir dua butir buah kelengkeng yang terjatuh. Mungkin akibat dimakan hewan bersayap di tengah malam. 

Rasanya? Jangan ditanya manisnya seperti apa. Lebih manis dibanding gula. Terlebih itu pohon milik sendiri. Jika buahnya sudah over dosis banyaknya, barulah nenek menyuruh orang untuk memanenkan buahnya. Soalnya kalau tidak dipanen pasti akan menyebabkan kotor halaman teras. Maklum, teras rumah kakek sangat besar dan biasanya digunakan untuk membuat perabotan meuble yang memang menjadi usaha kakek dan nenek. Kalau yang memakan hewan-hewan bersayap pastilah mereka senantiasa meninggalkan jejak berupa kulit kelengkeng dan biji.

Saya dan adik selalu saja senang menunggu saat-saat sang pemanen turun dengan sak beras berwarna putih yang penuh terisi. Sembari menunggu biasanya banyak hal yang kami berdua lakukan. Dari mulai bermain karet (dengan mengikatkan salah satu bagian karet ke batang pohon kelengkeng) sampai bermain petak umpet (menjadikan batang pohon kelengkeng tersebut sebagai tempat hoong *gerakan menepuk pada bagian yang dijadikan acuan jika ada teman yang tertangkap). Pohon tersebut senantiasa jadi sarana bermain kami. Kami sudah seperti teman.

 Jika sang pemanen sudah mulai turun, itu menandakan saatnya permainan usai dan waktunya untuk mencicipi buah dari pohon yang kami ajak bermain tersebut. Tanpa perlu meminta, sang pemanen bergegas menyerahkan beberapa ikat kelengkeng yang berisi lebih dari dua puluh butir. Mantap.

Biasanya orang yang memanen buah kelengkeng di rumah nenek dan kakekku berhak mendapat kelengkeng sebanyak yang dia mau. Kata Kakek, itu buat mereka jual lagi. Sementara nenek dan kakek hanya mengambil sedikit kelengkeng karena mereka sudah tua dan tidak boleh makan buah kelengkeng berlebihan. Jadilah setiap panen saya dan adik membawa buah kelengkeng yang diberi oleh pemanen ke sekolah untuk dibagi ke teman-teman di kelas.

Tapi sayangnya pohon kelengkeng itu sekarang sudah tidak ada. Selain karena beberapa rantingnya yang besar berjatuhan dan patah membahayakan banyak orang di bawahnya, juga karena di area tersebut dibangung rumah sehingga pada akhirnya ditebanglah pohon kelengkeng raksasa tersebut. Panjang ceritanya kalau dijelaskan lebih detil. Bisa-bisa nanti  menjadi sebuah novel “Kisah Pohon Kelengkeng” hehehe jadi intinya pohonnya sudah tidak ada sekarang.

Kenapa tiba-tiba saya menuliskan tentang kelengkeng. Entahlah saya juga tidak tahu. Tiba-tiba muncul saja dipikiran setelah sebelumnya ada seorang tamu temannya mama datang membawa sekantung buah kelengkeng sebagai buah tangan. Seketika saya dan adik saling berpandangan dan mengambil buah kelengkeng tersebut.

“Kalau makan kelengkeng inget apa coba?” Tanya adik saya saat itu.
“Malang” Jawab saya dan adik mengangguk. Ternyata kita memikirkan hal yang sama.

Kenangan itu manis seperti manisnya buah kelengkeng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar