Rabu, 04 September 2013

Kisah Dinda 2

"Dinda...Assalamualaikum" Sebuah suara berat lelaki memanggil namaku. Aku seperti tak asing dengan suara itu. Bergegas aku berbalik ke arah suara itu berasal. Seorang pemuda dengan kemeja biru lengan panjang kini berdiri di hadapanku. Aku tersenyum ke arahnya. Dandra!

"Walaikumsalam..." Jawabku sambil tersenyum ke arahnya. Dandra segera melewatiku dan salim ke mama dan Ibunya yang duduk manis di ruang tamu. Sore ini aku dan mama bertetangga ke rumahnya. Ia duduk di samping Tante Rusna sementara aku tertunduk saja. Ada rasa malu yang tiba-tiba menghampiri.

"Dinda udah sejam loh di sini nunggu kamu. Kamu lama banget sih?" Ujar Tante Rusna yang tak lain dan tak bukan adalah ibunya. Aku menoleh sesaat dan menggeleng.

"Tante... aku ke sini kan mau ketemu tante. Bukan ketemu Dandra" Ujarku tiba-tiba.

"Jadi kamu nggak mau ketemu aku Din?" Dandra bertanya dan membuatku salah tingkah. Astgfirullah.

"Ketemu semuanya" Jawabku pada akhirnya. Mama dan tante Rusna seketika tertawa.

"Kalian ini dulu akrabnya kaya magnet... sekarang aja kaya orang nggak kenal" Ujar Tante Rusna dan mama ikut mengiyakan.

Obrolan akhirnya berlanjut lagi. Setelah sebelumnya tante Rusna menanyakan perihal kehidupanku selama di Belanda kini Dandra melempar pertanyaan yang sama. Pada akhirnya aku mengulang kisahku. Tentu secara bergantian mendengar kisahnya. Dandra... teman sepermainanku ini tak banyak berubah. Ia tetap seperti biasa. Hangat dan senantiasa menghibur. Sesekali pertanyaannya banyak membuatku dan mama melempar senyum. Hanya saja kini ia lebih dewasa. Tak ada lagi sikap merajuk jika aku tak menjawab pertanyaannya.

"Din... masih suka main PS nggak?" Tanya Dandra tiba-tiba saat aku dan mama ingin pamit pulang karena sudah lama juga kami bertamu. 

"Udah nggak pernah main lagi Dan. Kenapa memangnya?" Tanyaku sambil mendongak ke arahnya.

"Hari minggu nanti aku ke tempatmu bawa PS ya. Kita main racing car lagi. Kangen." Ujar Dandra dan aku terdiam sesaat. 

"Tante Widia hari minggu ada di rumah kan? Bolehkan ya?" Ujar Dandra meminta izin pada mamaku. Mama seketika menatap ke arahku.

"Hari minggu besok kebetulan anak-anak keponakan tante mau main ke rumah. Nah jadi sekalian aja kan rame tuh." Ujar mama sambil tersenyum ke arahku.

"Oke sip tante. Minggu aku main" Ujar Dandra lalu salim ke arah mama dan melesat begitu saja ke dalam rumahnya tanpa menunggu jawaban dariku. Sementara Tante Rusna geleng-geleng melihat kelakuan anaknya.

"Maaf ya Mbak Wid... Dinda... Dia itu sepertinya masih belum puas ngobrol" Ujar Tante Rusna sambil nyengir ke arah kami. Mama tersenyum dan mengatakan tidak apa-apa. Sementara aku sendiri bingung mau bersikap seperti apa.

"Din... minggu besok Kak Ria sama Kak Silvi mau ke sini. Mereka kangen sama kamu." Ujar mama sembari membuka pintu rumah. Aku mengangguk saja mendengarkan bahwa sepupu yang berusia tiga tahun di atasku akan main ke sini.

"Selama aku nggak ada mereka sering main ke sini kan Ma? Mama nggak kesepian kan?" Tanyaku pada mama yang menutup dan mengunci pintu rumah.

"Iya mereka minimal sebulan sekali pasti main ke sini. Apalagi mereka sudah punya anak. Mama suka main sama cucu-cucu mama. Hehehe" Ujar Mama tersenyum girang lalu mulai bercerita saat-saat Kak Ria dan Kak Silvi bermain ke rumah bersama anak-anak mereka. Mendengar cerita dari mama aku menyimpulkan suatu hal. Sebenarnya mama kesepian. Kasihan mama. Tapi aku bersyukur karena sepupu-sepupuku sangat sayang dengan mama. Tiba-tiba saja aku memikirkan diriku sendiri. Bisakah aku berkeluarga dan memberikan cucu buat mama?

"Din... kalau kamu sudah menikah. Kamu tinggal sama mama ya. Di sini." Ujar mama lalu mendekatkan badannya ke arahku. Aku tersenyum mendengar keinginannya. Antara ingin mengiyakan atau tidak. Sementara kondisiku seperti ini.

"Kalau Dinda menikah ya Ma..." Ujarku begitu saja. Aku kemudian membuka peniti-peniti pada jilbabku.

"Pastilah kamu menikah. Mama saja yakin! Masa kamu enggak?" Mama bersemangat mengeluarkan kata-katanya. Oh Allah... jika saja ada orang yang mau menerima kondisiku seperti ini.

"Dinda... kamu sendiri selama ini yang selalu meyakinkan mama bahwa betapa sayangnya Allah sama kita. Mama yakin Allah sayang sekali sama mama dan kamu. Dan percayalah Allah pasti sudah mempersiapkan seseorang yang akan menerima kamu apa adanya." Ujar mama meyakinkan.

"Insha Allah Ma" Ujarku sesaat lalu tersenyum memeluk mama. Mama meninggalkan aku di kamar. Sebelum masuk ke kamar mandi untuk mengambil air wudu aku memandang diriku di dalam cermin. Seorang gadis berkursi roda dengan senyum yang terhias diwajahnya menatapku. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar